Thursday
Budaya Produktif, Etos Kerja, dan Daya Saing Organisasi
Oleh Jansen H. Sinamo
Budaya Produktif saya rumuskan sebagai totalitas kesadaran, pikiran, perasaan, sikap, dan keyakinan yang mendasari, menggerakkan, mengarahkan, serta memberi arti pada seluruh perilaku dan proses produktif dalam suatu sistem produksi, baik yang bersifat ekono-komersial, tekno-industrial, atau sosio-kultural.
Budaya Produktif selalu berlangsung dalam konteks kerja, artinya pada setiap peristiwa kerja di dalam ruang kerja (entah itu kerja yang bersifat ekono-komersial, tekno-industrial, atau sosio-kultural) dengan melibatkan seluruh etos kerja kaum pekerja itu bersama dengan perkakas, sistem, dan manajemen kerja mereka.
Etos Kerja saya rumuskan sebagai spirit, ruh, semangat, dan mentalitas yang mewujud menjadi seperangkat perilaku kerja yang positif seperti: rajin, hemat, bersemangat, teliti, tekun, ulet, sabar, akuntabel, responsibel, berintegritas, menghargai waktu, menghargai pengetahuan, kreatif, inovatif, dan sebagainya.
Budaya Produktif seporos dan setangkup dengan Etos Kerja seperti telah ditunjukkan oleh studi manajemen dan sosiologi ekonomi, yaitu bahwa Etos Kerja adalah faktor utama bagi Produktivitas. Menggunakan simbol matematis, hubungan keduanya adalah: P = f(EK), artinya produktivitas adalah fungsi etos kerja, sehingga kita bisa mengatakan:
Etos Bisnis menghasilkan Produktivitas Ekonomi
Etos Keguruan menghasilkan Produktivitas Pendidikan
Etos Akademik menghasilkan Produktivitas Ilmiah
Etos Kehakiman menghasilkan Produktivitas Keadilan
Etos Kedokteran menghasilkan Produktivitas Kesehatan
Etos Politik menghasilkan Produktivitas Kesejahteraan Rakyat
Etos Birokrasi menghasilkan Produktivitas Pelayanan Publik
Etos Indonesia menghasilkan Produktivitas Nasional
Produktivitas bisa kita bicarakan di tiga level: personal, organisasional, dan nasional, tetapi pada level manapun ia diwacanakan, peningkatatan produktivitas demi memperkuat daya saing sistem produksi itu haruslah melibatkan hal-hal berikut ini:
1. Adanya program penyadaran, sosialisasi, dan kampanye edukatif: secara berkala dan terus menerus.
2. Hadirnya dukungan dan keteladanan dari lapisan pimpinan puncak, pada setiap strata dan eselon, dari yang tertinggi hingga terendah.
3. Budaya produktif ini harus diterjemahkan menjadi berbagai entitas produktivitas yang lebih membumi dan operasional seperti UU dan PP tentang Produktivitas, sistem manajemen produksi, teknik-teknik produktivitas, software pengukuran produktivitas, sistem pengupahan berbasis produktivitas, dan sebagainya.
4. Adanya pengukuran, maksudnya dilakukan penghitungan-penghitungan atas kemajuan dan peningkatan yang terjadi. Untuk itu diperlukan semacam ‘etosmeter’ sebagai perkakas pengukur ketinggian etos kerja seseorang atau satu organisasi, yang bisa dibayangkan sama pentingnya dengan ‘termometer’ atau ‘tensimeter’ dalam manajemen suhu tubuh dan tekanan darah manusia.
5. Diberikannya “reward and punishment” yang adil, jelas, dan tegas.
6. Manajemen etos kerja dan produktivitas di atas diintegrasikan ke dalam sistem manajemen korporat semestawi (rekrutmen, seleksi, perencanaan, operasi, evaluasi kinerja, remunerasi, promosi, dsb.)
II
Membangun Korporat Indonesia dengan Etos Kerja Profesional
(Disajikan ulang dari buku Delapan Etos Kerja Profesional hal. 297-310 oleh Jansen H. Sinamo)
Jika Anda seorang manajer, eksekutif, atau pemimpin sebuah organisasi, maukah Anda memiliki SDM yang dicirikan oleh perilaku kerja berikut ini: (1) Mampu bekerja tulus penuh rasa syukur dan keikhlasan. (2) Sanggup bekerja tuntas penuh integritas dan kejujuran. (3) Mau bekerja benar penuh tanggung jawab dan akuntabilitas. (4) Bisa bekerja keras penuh semangat dan antusiasme. (5) Dapat bekerja serius penuh kecintaan dan pengabdian. (6) Senang bekerja kreatif penuh sukacita dan inovasi. (7) Selalu bekerja unggul penuh ketekunan dan kualitas. (8) Senatiasa bekerja paripurna penuh kesungguhan dan kerendahan hati.
Apa jawaban Anda?
Sebelum menjawabnya, izinkanlah saya menebak. Anda kira-kira berkata begini, saya duga, “Om Jansen ini gila juga ya, ideal banget, mana mungkin di dunia nyata, apalagi di Indonesia.”
Jika tebakan saya benar, saya tidak menyalahkan Anda. Malahan, itu bukti bahwa Anda sangat normal. Maksud saya, realita dunia kerja sebagaimana adanya Anda pahami dengan baik. Perilaku kerja di atas memang ideal, bahkan terkesan utopis.
Tetapi, tunggu dulu. Bila dipikirkan secara dingin, lebih jauh, saya kira Anda pun setuju bahwa semua perilaku kerja di atas sesungguhnya sangat dibutuhkan oleh setiap organisasi—swasta maupun negara, prolaba maupun nirlaba—agar bisa eksis, sintas berkiprah, dan berjaya di dunia yang terglobalisasikan sekarang ini, zaman yang kita sebut juga sebagai era digital global.
Memang, boleh saja SDM kita membokongi semua kualitas di atas, tetapi organisasi dengan SDM bermutu rendah akan tergilas habis oleh kompetisi, lalu terpinggirkan, kemudian tergusur dari gelanggang permainan. Itu pertama.
Kedua, semua guru sukses pada intinya mengajarkan bahwa semua keberhasilan adalah buah perilaku kerja yang positif. Di sini, saya tampilkan tiga guru saja.
Pertama, Napoleon Hill, dalam buku legendaris Think and Grow Rich (1960), menyimpulkan bahwa jika seseorang ingin meraih kekayaan material maka ia harus memiliki kualitas berikut (1) Keinginan besar untuk berhasil. (2) Yakin bahwa sukses adalah haknya (3) Yakin pada kekuatan doa (4) Daya imajinasi yang kuat (5) Daya pikir yang tajam (6) Intuisi yang tajam (7) Sikap mental positif yang ditopang oleh otosugesti yang efektif (8) Pengetahuan khusus yang mendalam (9) Perencanaan yang matang dan teliti (10) Kemampuan membuat keputusan yang jitu (11) Ketabahan menghadapi berbagai kegagalan (12) Kemampuan mengerahkan emosi positif (13) Kemampuan mengubah energi seksual menjadi energi kerja (14) Kemampuan mengelola enam ketakutan: takut miskin, takut sakit, takut dibenci, takut dikritik, takut tua, dan takut mati.
Kedua, Stephen R Covey dalam buku tenar The Seven Habits of Highly Effective People (1989) menemukan adanya tujuh kebiasaan manusia efektif, yaitu: (1) Senantiasa proaktif (2) Memulai sesuatu dari akhirnya (3) Mengutamakan hal-hal yang utama (4) Berpikir win-win (5) Berusaha memahami dahulu agar dipahami (6) Bekerja dengan sinergi (7). Senantiasa memperbarui dan mempertajam diri.
Ketiga, John Wareham dalam buku hebat The Anatomy of Great Executives (1991) mengatakan bahwa seorang eksekutif akan sukses jika memiliki: (1) Kemampuan menampilkan persona diri yang tepat (2) Kemampuan mengelola energi diri yang baik (3) Sistem nilai pribadi dan kontak-kontak batiniah yang jelas (4) Sasaran hidup yang tersurat maupun tersirat secara jelas (5) Kecerdasan (6) Kebiasaaan kerja yang baik (7) Keterampilan antarmanusia yang baik (8) Kemampuan adaptasi dan kedewasaan emosional (9) Pola kepribadian yang tepat dengan tuntutan pekerjaan (10) Kesesuaian antara tahap dan arah kehidupan dengan harapan gaya hidup.
Kesimpulannya jelas: untuk meraih sukses harus ada sikap mental unggul , a superior state of mind, yang mewujud menjadi perilaku kerja yang ideal.
Ini di tingkat personal. Di tingkat organisasional, agar berhasil, diperlukan seperangkat perilaku organisasi yang ideal pula. Saya tampilkan tiga guru lainnya.
Pertama, Tom Peters dalam bukunya Thriving On Chaos (1987) mengemukakan, agar bisa sukses, sebuah organisasi harus mampu: (1) Responsif terhadap kebutuhan pelanggan (2) Berinovasi dengan cepat (3) Memberdayakan seluruh jajaran SDM (4) Menampilkan kepemimpinan pada setiap eselon organisasi (5) Membangun sistem yang lebih otonom dan terdesentralisasikan.
Kedua, Collins & Porras dalam buku best-seller Built to Last (1997) mengatakan bahwa sebuah organisasi akan mampu mencapai sukses signifikan jika ia memiliki: (1) Arsitektur organisasi yang dinamis (2) Kemampuan mengelola kenyataan-kenyataan yang paradoks (3) Ideologi bisnis yang kuat (4) Sasaran-sasaran dan target-target yang agung (5) Keteguhan sekaligus fleksibilitas (6) Budaya kerja yang dihayati secara fanatik (7) Daya inovasi yang kreatif (8) Sistem pembangunan SDM dari dalam (9) Orientasi mutu pada kesempurnaan (10) Kemampuan untuk terus belajar dan berubah secara damai.
Ketiga, Jeremy & Tony Hope dalam bukunya Competing in the Third Wave (1997) mengemukakan, agar organisasi mempunyai daya saing tinggi sehingga bisa tampil sebagai pemenang, ia harus sanggup menjalankan sepuluh hal berikut ini: (1) Membangun dan menjalankan strategi bisnis yang jitu (2) Menampilkan sajian nilai pelanggan yang bermutu tinggi (3) Berkompetisi dengan basis informasi dan pengetahuan (4) Sistem manajemen yang berbasis pada jaringan dan proses (5) Menemukan fokus pasar yang paling menguntungkan (6) Mengelola organisasi dan bukan mengelola angka-angka (7) Menyeimbangkan kontrol dan pemberdayaan (8) Mengelola asset intelektual (9) Meningkatkan produktivitas berdasarkan nilai tambah (10) Menjalankan proses adaptasi dan transformasi.
Mempelajari konsep guru-guru sukses di atas—yang mereka peroleh melalui studi dan riset mendalam—bisa disimpulkan bahwa perilaku kerja yang ideal, bagaimanapun komposisinya, merupakan sebuah keniscayaan bagi orang atau organisasi yang ingin sintas, sukses, dan berjaya.
Kembali ke pertanyaan saya di awal: bila Anda seorang manajer, eksekutif, atau pemimpin, apakah Anda ingin mempunyai SDM yang dicirikan oleh delapan set perilaku kerja positif tadi? Saya kira, jawaban Anda sudah lebih positif sekarang.
Persoalannya tentu, bagaimana caranya agar bisa memiliki SDM dengan perilaku kerja seindah itu? Saya jawab dengan pendek saja: bangunlah etos kerja profesional pada semua eselon organisasi Anda, tanpa kecuali!
Sukses Personal, Organisasional, dan Sosial
Studi bertahun-tahun tentang kunci sukses akhirnya membawa saya pada kesimpulan tegas: etos kerja adalah akar semua keberhasilan, baik di tingkat personal, organisasional, maupun sosial.
Untuk memahaminya, saya mengajak Anda meninjau konsep keberhasilan pada tiga tingkatan itu. Di atas, secara ringkas, saya sudah perkenalkan dua kelompok tokoh penggagas kunci sukses. Kelompok pertama, Napoleon Hill, Stephen R. Covey, dan John Wareham. Kelompok kedua, Tom Peters, Collins & Porras, serta Jeremy & Tony Hope. Sebenarnya, ribuan orang sudah menulis puluhan ribu buku tentang kiat, prinsip, hukum, kaidah, asas, atau kunci keberhasilan. Saya memilih enam orang saja untuk mewakili dua kelompok tersebut.
Apa beda keduanya?
Bedanya, kelompok pertama memfokuskan studi mereka pada ranah personal, artinya kunci-kunci sukses yang mereka gagas ditujukan untuk membangun sukses individual. Sedangkan kelompok kedua memfokuskan studi mereka pada ranah organisasional, artinya kunci-kunci sukses yang mereka gagas ditujukan untuk membangun sukses organo-manajerial, terutama perusahaan.
Tetapi, di tingkat yang lebih luas, kita juga membutuhkan kunci-kunci sukses pada ranah sosial, yaitu gagasan konseptual untuk memajukan suatu masyarakat, suku bangsa, dan bahkan negara. Ketiganya penting difahami secara tuntas serta kemudian diintegrasikan dan disinergikan, karena sebenarnya manusia hidup pada ketiga tingkat itu secara serentak dan sekaligus: personal, organisasional, dan sosial.
Etos kerja—akan saya tunjukkan segera—merupakan kunci sukses yang sangat unik, karena ia sekaligus sanggup menjadi fundamen keberhasilan pada ketiga ranah itu.
Tetapi meskipun sangat unik, dan karena itu istimewa, perlu segera saya tegaskan pula bahwa etos kerja bukan satu-satunya kunci sukses. Yang benar, etos kerja adalah pondasinya, akarnya. Etos kerja adalah pondasi keberhasilan. Etos kerja adalah akar kesuksesan. Dengan kata lain, etos kerja merupakan sebuah syarat perlu (necessary condition) tetapi belum merupakan syarat cukup (sufficient condition).
Etos kerja sebagai kunci sukses, sejauh ini merupakan kajian sosiologi ekonomi, dan karenanya terkesan hanya relevan untuk keberhasilan sosial saja. Tetapi saya berpendapat, hal ini tidak benar. Salah satu tujuan saya menulis buku Delapan Etos Kerja Profesional ialah untuk membawa turun konsep etos kerja turun dari wilayah sosial menukik ke ruang organo-manajerial serta ke ranah individual. Dengan demikian, etos kerja akan bisa tampil secara lebih luas, tidak saja di ruang-ruang kuliah sosiologi, tetapi juga di ruang-ruang rapat eksekutif dan ruang-ruang perenungan pribadi orang-orang yang ingin naik ke orbit sukses yang lebih tinggi.
Teori Schumacher Tentang Sukses Negara
Seorang guru sukses pada tingkat negara adalah E. F. Schumacher (1911-1977) ekonom yang terkenal, antara lain, karena judul bukunya yang puitis: Small Is Beautiful (1973). Lebih spesifik, Schumacher dikenal sebagai penganjur strategi pembangunan ekonomi secara gradual, dari kecil menuju besar, perlahan seiring dengan kemajuan pengetahuan dan disiplin masyarakat, termasuk institusi ekonomi pendukungnya. Intisari pikiran Schumacher dapat kita simak dari kutipan berikut ini:
Saya yakin bahwa dari berbagai sebab kemiskinan, faktor-faktor material—seperti kekurangan sumber daya alam, modal, dan prasarana—hanya merupakan sebab sekunder saja. Sebab primernya adalah kekurangan di bidang pendidikan, organisasi dan disiplin.
Pembangunan tidak dimulai dengan barang, tetapi dimulai dengan manusia: pendidikannya, organisasinya, dan disiplinnya. Tanpa ketiga komponen ini, semua sumberdaya tetap terpendam, tak dapat dimanfaatkan, dan tetap merupakan potensi belaka.
Adanya negara-negara yang makmur walaupun kekayaan alamnya sangat sedikit, membuktikan betapa pentingnya ketiga komponen yang tidak kelihatan tersebut. Hal ini lebih nyata kelihatan sesudah Perang Dunia II. Betapapun hebatnya kehancuran yang dialami akibat perang tersebut, namun negara-negara dengan tingkat pendidikan, organisasi, dan disiplin yang tinggi kemudian mampu menciptakan keajaiban ekonomi.
Tetapi sebenarnya hal ini hanya ajaib bagi orang yang hanya melihat puncak gunung esnya saja. Puncaknya barangkali hancur, tetapi badan gunung itu—pendidikan, organisasi, dan disiplinnya—tetap masih utuh.
Schumacher menolak strategi pembangunan lompat katak. Menurutnya, modal utama pembangunan adalah SDM, bukan sumber daya material atau finansial. Dua yang terakhir ini bersifat sekunder. Tetapi SDM itu primer. Dan membangun SDM tidak mungkin secara lompat katak. Hanya bisa gradual dan kontinual saja.
Tetapi pemikiran Schumacher ini diabaikan orang di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Pada zaman Orde Baru, Indonesia lebih suka menggunakan teori lepas landas dengan mengadakan lompatan-lompatan pembangunan secara spektakuler. Tetapi terbukti kemudian, tanpa dukungan etos kerja bermutu tinggi serta kualitas profesionalisme organisasi di segala lini, Indonesia akhirnya terjungkal ke ngarai utang raksasa disertai berbagai krisis dan tragedi.
Sekali lagi, SDM adalah kunci utama. Satu inti kualitas SDM yang disebut Schumacher ialah disiplin. Dan, jika disiplin dalam badan gunung es Schumacher saya rampatkan menjadi etos kerja, maka tiga komponen sukses yang tidak kelihatan itu akan tampak seperti gunung es yang 90% tubuhnya tersembunyi di dalam samudera.
1. Pendidikan: Dalam komponen ini termasuk segala jenis pengetahuan, ilmu, teori, prinsip, kaidah, pedoman, konsep, ide, gagasan, paradigma, beserta kiat-kiat teknisnya; baik yang diperoleh lewat pembelajaran formal, nonformal, maupun informal.
2. Keterampilan Organisasional: Dalam komponen ini termasuk semua bentuk kemampuan mengelola organisasi seperti keterampilan perencanaan, eksekusi, pengendalian, pengoordinasian, pemecahan masalah, dan evaluasi untuk perbaikan. Juga, termasuk seluruh talenta kepemimpinan seperti visi, teknik pemberdayaan, komunikasi, inspirasi, dan motivasi. Pokoknya semua keterampilan organisasional yang umumnya berbasis pada rumpun ilmu manajemen dan organisasi.
3. Etos Kerja: Dalam komponen ini termasuk semua jenis perilaku kerja yang positif seperti disiplin, efisiensi diri, komitmen, keuletan, hemat, giat, tabah, ramah, kreatif, positif, inovatif, imajinatif, efektif, proaktif, kreatif, inovatif, kerja keras, antusias, integritas, dan sebagainya.
Ketiga komponen utama di atas memang tidak kelihatan. Semuanya berada dalam diri manusia yang tersimpan dalam berbagai bentuk kompetensi, keahlian, dan kemampuan insani operasional. Dan apabila ketiganya digunakan di dalam dan melalui kerja, ia akan keluar dalam bentuk kinerja, prestasi, dan produksi.
Inilah sesungguhnya yang disebut SDM, tepatnya sumber daya yang tersimpan dalam diri manusia, yang dapat digunakan menghasilkan apa saja yang dihendaki manusia.
Hasil khusus dari pemanfaatan ketiga jenis sumber daya manusia di atas adalah barang-barang material dalam berbagai bentuk dan fungsi, seperti kursi, meja, gedung, pabrik, irigasi, jalan raya, lapangan terbang, mesin-mesin, alat-alat transportasi, sistem telekomunikasi, jejaring komputer, dan lain-lain.
Pada tingkat selanjutnya, dengan menggunakan SDM ini, kita akan mampu mengolah benda-benda material yang telah ada—dalam bentuk kekayaan alam asli maupun hasil-hasil olahan kerja tingkat pertama—menjadi barang-barang material lain yang memiliki nilai tambah lebih tinggi melalui serangkaian proses aksi dan produksi. Oleh karenanya, sekali lagi, barang-barang material memang berfungsi sebagai komponen sukses sekunder.
Semua barang material ini bersifat kasat mata, riil, terukur, serta bisa dipindah-pindahkan, dipertukarkan, atau diperjualbelikan dengan perantaraan alat tukar yang kita sebut uang. Di sini, selain berfungsi sebagai modal sekunder, uang juga kemudian berfungsi sebagai bentuk transformasi dan akumulasi dari barang-barang material itu, sekaligus menjadi ukuran kinerja atas kemampuan memanfaatkan SDM bersama sumber-sumber daya lainnya.
Dengan demikian, teori Schumacher di atas sekarang dapat saya modifikasi sebagai berikut.
Pertama, istilah disiplin saya rampatkan menjadi etos kerja seperti telah dijelaskan sebelumnya. Perampatan ini dapat diterima karena disiplin hanyalah salah satu dari sejumlah perilaku positif yang menunjang sukses seperti hemat, tekun, efisien, rajin dan sebagainya. Kelompok perilaku ini memang lazim disebut etos kerja.
Kedua, saya telah mempertajam istilah organisasi menjadi keterampilan organisasional. Penajaman ini pun dapat diterima karena memang itulah yang tersirat dalam kalimat Schumacher, “Pembangunan tidak dimulai dengan barang, tetapi dimulai dengan manusia: pendidikannya, organisasinya, dan disiplinnya.” Jelas, organisasi tidak mungkin berada dalam diri manusia, tetapi sebaliknyalah. Sudah pasti, yang dimaksudnya dengan organisasi adalah keterampilan organisasional.
Ketiga, saya telah mengubah urutan komponen sukses Schumacher menjadi: disiplin, pengetahuan, dan organisasi; atau dalam rumusan baru saya menjadi: etos kerja, pengetahuan, dan keterampilan organisasional. Urutan ini penting karena menjelaskan elemen mana yang lebih fundamental dibandingkan dengan elemen lainnya.
Menurut saya, etos kerja adalah elemen paling primer. Menggunakan ilustrasi baru, ibarat sebatang pohon, maka etos kerja adalah akarnya, pengetahuan adalah batangnya, berbagai keterampilan organisasional adalah cabang dan rantingnya, sedangkan uang dan berbagai barang material adalah buah-buahnya.
Jadi, dengan etos kerja yang kuat (akar yang baik) orang bisa membangun dan meningkatkan pengetahuannya (batang). Berbasis pada pengetahuan, ditopang oleh etos kerja yang baik, keterampilan organisasional pun bisa dibangun (cabang dan ranting). Dan dari ketiga komponen inilah kemudian dihasilkan kinerja yang membuahkan berbagai jenis barang material maupun jasa komersial.
Saya tegaskan bahwa urutan ini tidak bisa dibalik. Artinya tanpa ketiga komponen primer itu, kinerja dan buah-buah materialnya tidak akan muncul. Tanpa etos kerja dan pengetahuan, keterampilan tidak bisa dibangun. Dan tanpa etos kerja yang kuat, pengetahuan pun tidak mungkin diperoleh. Jadi benarlah bahwa etos kerja memang merupakan komponen sukses primer, yaitu yang paling fundamental.
****
Seperti dijelaskan di depan, etos kerja--meskipun merupakan elemen primer--ternyata tidak bisa membawa sukses signifikan apabila pengetahuan dan keterampilan organisasional tidak berkembang secara proporsional. Pendapat ini didukung oleh tesis Mohamad Sobary dalam buku Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonomi (1999). Di situ, Sobary mengutip penelitian Clifford Geertz atas kelompok dagang kelas menengah di Mojokuto, Jawa Timur. Dijelaskannya, dengan etos kerja santri yang mereka miliki, kelompok pengusaha Muslim memang berhasil menjadi wong dagang yang cukup berhasil, yaitu menjadi kelas menengah di Mojokuto. Tetapi keberhasilan lebih lanjut ternyata tidak bisa berkembang. Keberhasilan mereka seolah-olah membentur langit-langit seperti dilukiskan oleh Sobary berikut ini:
Namun kemajuan perekonomian Mojokuto tidak berkembang tanpa masalah. Geertz memperlihatkan kelompok pengusaha Muslim tidak kekurangan modal, juga memiliki pangsa pasar yang memadai, juga memiliki semangat yang cukup besar, karena seperti telah kita lihat, kelompok ini memiliki apa yang di Barat disebut sebagai etos Protestan yaitu hemat, rajin, dan bebas.
Yang tidak dimiliki oleh pedagang Muslim Pembaru ini di akhir tahun 1950-an pada dasarnya ada dua hal: kemampuan memobilisasi modal dan kemampuan untuk membentuk lembaga-lembaga ekonomi. Pendeknya, mereka tidak memiliki dukungan organisasional dan struktural. Mereka, menurut Geertz, adalah pengusaha tanpa perusahaan.
Jadi, etos kerja yang baik tanpa diimbangi pengetahuan yang memadai (misalnya, apa produk yang digemari pasar, apa hambatan memajukan usaha, siapa pesaing-pesaing di pasar, dan sebagainya) dan keterampilan organo-manajerial (misalnya, bagaimana membentuk lembaga-lembaga ekonomi, bagaimana memobilisasi modal, bagaimana menjalankan perusahaan secara efisien, dan sebagainya) maka sukses komersial yang mungkin dicapai akan sangat terbatas.
Sobary mencatat bahwa kasus Mojokuto juga terbukti di tempat lain. Misalnya di Aceh melalui penelitian Siegel dan di Kudus melalui penelitian Castles. Penelitian Sobary sendiri di desa Suralaya atas masyarakat Betawi yang menjadi pokok bahasan bukunya, juga menghasilkan kesimpulan yang sama: mereka tidak memiliki cukup pengetahuan dan keterampilan manajemen, serta gagal mengembangkan organisasi bisnis modern sebagaimana saudara mereka di Barat seperti dikisahkan Max Weber dalam karya monumentalnya The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1958).
Apabila etos kerja awal tadi tidak mampu menghasilkan sukses yang lebih tinggi karena dua kekurangan tersebut, dalam konteks persaingan dengan kelompok lain mereka akan kalah bersaing dengan kelompok lainnya, yang pada giliran selanjutnya membawa akibat lebih fatal, yaitu melemahnya etos kerja mereka secara perlahan-lahan. Apa-lagi ditambah dengan faktor-faktor sosial-politik yang tidak menguntungkan, seperti dicatat Sobary, maka proses pelemahan itu pun berjalan lebih cepat.
Mereka juga gagal dalam persaingan dengan kolompok etnik Cina. Kegagalan mereka ini adalah kegagalan politik dan sosial, bukan ekonomi. Etos kerja kelas menengah pengusaha-pengusaha ini telah melemah.
Penjelasan ini masuk akal. Jika orang sudah bekerja dengan rajin, jujur dan bersikap hemat, tetapi hasilnya tidak seberapa, bahkan kemudian kalah bersaing dengan tetangganya, secara tidak fair pula, maka semangat kerjanya akan merosot, yang pada gilirannya melemahkan etos kerja yang awalnya lumayan baik.
Dan tampaknya itulah yang terjadi di Mojokuto, Aceh, Kudus, dan Suralaya. Tidak berlebihan menduga bahwa hal ini terjadi secara merata di seluruh Indonesia mengingat di masa Orde Baru struktur perekonomian negeri ini dibangun secara distorsif dengan ketidakadilan yang sistemik.
Tiga Strategi Baru Buat Indonesia
Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang? Saya mengusulkan tiga strategi besar yang harus diambil serentak.
Strategi pertama, kondisi sosial politik sebagai lingkungan makro bagi tumbuh kembangnya organisasi dan lembaga-lembaga ekonomi masyarakat harus ditata secara positif, sehingga bebas dari distorsi yang sarat kolusi dan korupsi. Pada dasarnya inilah yang hendak diusahakan oleh gerakan reformasi di Indonesia dengan memaksa mundur Presiden Suharto, melaksanakan Pemilu jujur adil tahun 1999, dan membentuk pemerintahan baru sesudahnya. Cita-cita reformasi adalah penyelenggaraan pemerintahan yang jujur dan bersih, pengembangan demokrasi, pemberdayaan masyarakat, implementasi good corporate governance, menegakkan kepastian hukum, menjunjung tinggi hak asasi manusia untuk menciptakan masyarakat madani di alam Indonesia Baru. Saya pribadi meyakini alam reformasilah yang sesuai untuk tujuan menumbuhkembangkan organisasi dan lembaga-lembaga ekonomi nasional yang sanggup bermitra, bahkan bersaing dengan negara-negara lain.
Stategi kedua, etos kerja baru harus disosialisasikan dan dikaitkan secara tegas dengan upaya peningkatan ilmu dan pengetahuan masyarakat di segala bidang. Untuk itu predikat sebagai orang berilmu, berpengetahuan, atau orang pAndai harus menjadi bagian integral dari visi sukses itu sendiri. Bersekolah dan belajar harus menjadi aspirasi masyarakat secara merata. Meraih gelar keilmuan setinggi-tingginya harus menjadi cita-cita baru bagi masyarakat. Dengan demikian etos kerja dan etos belajar difungsikan menjadi basis motivasi untuk meraih sukses di segala bidang. Dan dengan ini pula masyarakat akan berkembang menjadi masyarakat yang cerdas dan berpengetahuan. Yang harus dicegah ialah pemberhalaan gelar-gelar keilmuan yang tampak mencolok beberapa tahun belakangan ini, dimana gelar-gelar setingkat master dan doktor diperjualbelikan tanpa malu. Para pembeli gelar tampaknya mengidap sakit jiwa karena mereka dengan bangganya mengenakan gelar-gelar mentereng tetapi hampa bobot. Di pihak lain, para penjual gelar juga kehabisan akal kreatifnya, sehingga demi uang mereka rela menistakan gelar-gelar yang penuh kehormatan itu. Bukan itu yang kita perlukan. Yang kita cari adalah kebanggaan sehat karena prestasi keilmuan yang sejati sehingga patut menyandang gelar yang berbobot pula.
Strategi ketiga, pengembangan etos kerja harus dilaksanakan dalam konteks pendidikan dan pelatihan manajemen dalam arti seluas-luasnya untuk memperoleh keterampilan organisasional bermutu tinggi bagi seluruh warga organisasi. Ini harus dilakukan mulai dari tingkat negara, birokrasi, dunia bisnis, dunia pendidikan, bahkan semua jenis organisasi dalam masyarakat. Dengan demikian semua organisasi, besar-kecil, swasta-pemerintah, prolaba-nirlaba, berkembang ke arah profesionalisme yang semakin tinggi dengan basis pengetahuan dan pembelajaran yang berkesinambungan. Intinya adalah proses pengembangan mutu SDM dalam organisasi dan masyarakat secara luas. Di sini, pengembangan pribadi, pengembangan organisasi, dan pengembangan sosial berlangsung secara simultan dan saling mendukung sehingga efek sinergi pengembangan masyarakat akan terjadi secara besar-besaran.
(selesai)