Friday

TRAGEDI SEKOLAH BINATANG


Oleh Jansen H. Sinamo



Suatu ketika, bangsa Binatang sakit hati karena dilecehkan bangsa Manusia. Hal ini dilaporkan oleh anjing, burung, dan kucing, dimana sebagai peliharaan tiap hari mereka mendengar umpatan, makian, dan sumpah serapah yang menggunakan nama binatang dengan kandungan emosi paling buruk.


Untuk membuktikan sebaliknya, bangsa Binatang pun bertekad meningkatkan peradaban mereka. Komite sekolah pun dibentuk dimana setiap suku hewan diwakili oleh seekor tetua yang dianggap paling arif di komunitasnya.


Pada hari mereka sedang membahas kurikulum suku Burung mengusulkan pelajaran terbang harus ada. Suku Kelelawar menghendaki adanya pelajaran teknik tidur dengan kepala di bawah. Sedangkan suku Cicak menekankan perlunya pelajaran merayap di langit-langit.


Begitulah, dalam kurikulum sekolah binatang itu, terdapat berbagai mata pelajaran yang sangat menarik seperti berkicau, berkotek, berenang, mendesis, mematuk, menerkam, melenguh, mengaum, menyelam, dan melompat. Semua ini digolongkan dalam kelompok pelajaran dasar.


Di tingkat menengah, terdapat berbagai pelajaran yang lebih canggih seperti teknik pura-pura mati, kiat berganti kulit, menukik tanpa bunyi, dan membelit musuh tanpa gejolak.


Sedangkan pelajaran di tingkat lanjut mencakup ilmu-ilmu yang lebih hebat seperti pedoman metamorfosa, teknik mengobati diri sendiri, jurus kawin sambil terbang, dan rahasia bernafas dalam lumpur.


Juga diputuskan, jika putra-putri hewan itu tamat, setiap lulusan tingkat dasar akan mendapat gelar Pr (singkatan dari prigel), alumni tingkat menengah diberi gelar Tr (singkatan dari trengginas), dan jebolan tingkat lanjut berhak memakai gelar Pw (singkatan dari piawai).


Mereka berharap nama binatang sekolahan akan lebih bergengsi, misalnya Bebek Peking Pr, Ular Beludak Tr, atau Tupai Pedidit Pw. Pokoknya, mereka tak mau kalah dengan bangsa Manusia yang sangat bangga dengan gelar-gelar sekolah seperti BA, MA, atau PhD. Dan seperti manusia, mereka juga percaya bahwa bergelar berarti sukses. Binatang ingin setara dengan manusia dan dihargai penuh martabat.

***


Tetapi sesudah meluluskan 10 angkatan, sekolah binatang akhirnya dibubarkan. Intinya, sekolah binatang dinilai gagal total. Gelar-gelar yang sempat diberikan pun dicabut. Gelar Prigel, Trengginas, dan Piawai dianggap hanya gombal.

Apa gerangan sebabnya? Binatang tidak sanggup mengevaluasi lebih lanjut. Pokoknya, sekolah dibubarkan karena hasilnya jelek. Begitu saja.


Namun, karena bangsa Manusia suka meneliti maka diturunkanlah sebuah tim pencari fakta. Tim inilah yang akhirnya berhasil menemukan sebab kegagalan itu.


Kesimpulan terpenting: sekolah binatang itu gagal karena pada semua mata pelajaran, setiap murid mendapat nilai minimum C. Ini diperoleh sesudah menganalisa sejumlah fakta yang aneh. Ditemukan misalnya, dalam pelajaran berenang pun ikan hanya mendapat C. Dalam pelajaran terbang burung juga cuma dinilai C. Demikian pula nilai rusa dalam pelajaran berlari dihargai dengan C saja. Pokoknya setiap binatang cuma mendapat C dalam kompetensi alamiah masing-masing. Yang paling aneh, meskipun nilai mereka C di rapor, ketika diuji secara aktual, kompetensi itu hanya pantas mendapat F, alias tidak kompeten sama sekali.


Bagaimana mungkin sekolah merusak kompetensi alamiah anak-anak binatang itu?


Rupanya, saat praktikum berenang sayap burung rusak parah, sehingga saat dipakai dalam praktikum terbang, sayap itu tak berguna lagi. Namun burung mendapat C juga dalam terbang maupun berenang karena ia tak pernah absen dan suka menolong teman.


Ketika praktik bernafas dalam lumpur sayap kelelawar berpatahan, sehingga saat ia harus terbang malam arahnya jadi ngawur dan menabrak pohon. Namun kelelawar mendapat C dalam keduanya karena ia selalu bersikap sungguh-sungguh dan hormat pada guru.


Pokoknya, semua anak binatang cuma mendapat C dalam setiap mata pelajaran bukan karena kompetensinya tetapi karena soal-soal di luarnya. Fakta di balik rapor dan ijazah, semua lulusan sekolah binatang ternyata tidak kompeten. Mereka seharusnya diberi nilai E dan F saja. Salah satu buktinya, ketika lowongan kerja penerbang dibuka, dari 10.000 burung yang melamar yang diterima cuma 12 ekor saja. Sesudah diterima pun, statusnya cuma pegawai honorer dengan gaji ala kadarnya untuk sekadar hidup dari bulan ke bulan.


Inilah ironi sekolah binatang sehingga akhirnya dibubarkan.

No comments: