Oleh
Tetapi Sen juga membanggakan orang seperti saya karena ia menjadi salah satu model dari keberhasilan yang berbasiskan etos yang gencar saya promosikan dimana-mana beberapa tahun belakangan ini.
Pencaapaian Sen - yang pernah bercita-cita menjadi biksu itu - memang fenomenal. Kini ia adalah guru besar ilmu ekonomi dan filsafat pada Universitas Cambridge, Massachusetts, AS dan menjadi Pimpinan Trinity College di Cambridge, Inggris. Sen juga menjabat Presiden Asosiasi Ekonom Amerika. Di tengah pencapainnya yang mondial itu, ia tetap mempertahankan kewarganegaraan Indianya, walaupun Sen menghabiskan sebagian besar usianya di Amerika dan Inggris.
Prestasi Sen terbesar adalah kajian ekonomi pembangunannya yang memasukan parameter-parameter moral sehingga indikator ekonomi pembangunan yang lebih sesuai dapat dirumuskan. Teori Sen dengan gemilang mampu memahami dan menjelaskan kelaparan dan kemiskinan di dunia yang kemudian diakui oleh PBB dengan menjadikan parameter Sen menjadi unsur penting dalam Human Development Index (Indeks yang menjelaskan tingkat kesejahteraan suatu negara).
Tetapi jika diteliti lebih dalam, prestasi Sen ini sebenarnya dipandu oleh keyakinannya bahwa ilmu ekonomi tidak hanya berurusan dengan pendapatan dan kekayaan, melainkan seharusnya juga berwajah manusia. Dengan kata lain ekonomi juga harus berdimensi moral. Menurut Sen keberhasilan pembangunan tidak boleh hanya diukur dari peningkatan pendapatan per kapita, tetapi juga parameter kesejahteraan seperti pendidikan, kebebasan, dan demokrasi.
Sen membuktikan bahwa indikator-indikator kemiskinan, ketidakmerataan distribusi ekonomi, dan kelaparan ternyata erat kaitannya dengan elemen moral dalam sistem pengambilan keputusan ekonomi di tingkat atas. Menurut Sen, kelangkaan pangan bukanlah penjelasan memadai bagi bencana kelaparan. “Saya tidak pernah menjumpai kelaparan di negara demokratis dan selalu terjadi di bawah keditaktoran militer, pemerintahan satu partai, atau rezim kolonial lama.", kata Sen.
Dan argumen ini memang benar. Buktinya, di negara di mana kelaparan muncul beras malah ditimbun dan diekspor. Di negara yang mendapat bantuan beras enak, rakyatnya disuruh membeli beras tak enak dengan harga mahal. Sen menyimpulkan bahwa kelaparan selalu paralel dengan kebijaksanaan distribusi pangan yang tidak mengindahkan nilai-nilai moral.
Teori Sen merupakan terobosan penting dalam ekonomi pembangunan, walaupun semula obsesi keilmuannya ini banyak dicemooh, termasuk oleh profesornya di Cambridge, yang berkata, "Tinggalkan saja omong kosong tentang moral itu!" Tetapi cemoohan terhadap teorinya tidak menyurutkan keyakinan dan kesungguhan Sen. Ia terus bekerja mengkaji dan merevisi sejumlah parameter ekonomi pembangunan. Masa kecilnya di India yang akrab dengan kemiskinan membuat Sen bertekad untuk mengenyahkannya melalui ilmu ekonomi. PBB akhirnya mengakui temuan-temuan Sen sebagai sangat signifikan untuk memetakan kemiskinan dan kelaparan di dunia. Jadi, sangatlah pantas Hadiah Nobel 1998 dianugerahkan kepada Sen yang telah melayani kaum miskin melalui ilmunya sekaligus mengangkat harkat ekonomi pembangunan dalam keluarga ilmu ekonomi.
***
Kisah sukses Amartya Sen di atas saya angkat untuk menunjukkan bahwa moralitas dan etika tidak bertentangan dengan sukses. Malah sebaliknya, moralitas adalah dasar yang kokoh bagi sukses besar berskala dunia. Namun harus diakui, jika yang dimaksudkan bahwa sukses adalah ”kaya secara instan” atau ”berkuasa dengan cara apa saja”, maka moralitas adalah jeruji penghambat. Tetapi sukses terakhir ini – dalam perspektif panjang – bukanlah sebuah sukses, melainkan bencana. Tak perlu banyak bukti, lihat saja bankir-bankir kita yang mengelola banknya suka-suka hati, mengabaikan nilai-nilai kapatutan dan keadilan, akhirnya terjerembab ke dalam lembah kenistaan dengan mewariskan sistem perekonomian morat-marit yang membebani 200-an juta rakyat kita.
Memang ada sebab lain yang membuat orang terjerat mengabaikan nilai-nilai moral dan kemanusiaan dalam bekerja. Di antaranya boleh disebut:
1.Orientasi kerja yang hanya untuk “perut”, dan kurang untuk “dada dan kepala”.
2.Perspektif kerja yang terlalu kekinian, dan kurang berwawasan sejarah dan futuristik.
3.Pusat perhatian yang sangat self-centered, dan kurang principle-centered.
4.Pola hidup yang menumpuk, dan kurang berbagi dengan sekitar.
5.Modus kerja yang mengambil dan mengeksploitasi, dan kurang untuk menabur dan mengkonservasi.
Padahal, selain memenuhi kebutuhan diri sendiri, alasan dan motivasi bekerja sesungguhnya sangat bervariasi, serta jauh lebih kaya dan menarik daripada sekedar demi diri sendiri. Di antaranya:
1.Mengembangkan potensi psikologis dan spiritual untuk diabdikan secara sosial;
2.Menemukan makna kehidupan dan kerja itu sendiri;
3.Mengaktualisasikan potensi bio-psiko-spiritualnya;
4.Menyumbangkan karya agung bagi masyarakat.
5.Memajukan komunitasnya;
6.Menjadi lapangan pengabdian bagi sebuah idealisme kehidupan;
7.Menunaikan sebuah tugas agung (misi) kehidupan;
8.Menabung hasil-hasil kerja untuk dinikmati di masa kemudian;
9.Ekspressi rasa tanggung jawab dan rasa syukur atas kehidupan;
10.Lapangan ekspresi diri secara kreatif, artistik dan inovatif.
11.Memenuhi panggilan khusus kehidupan.
Untuk sampai kepada paradigma kerja seperti di atas, kita harus lebih menyadari identitas kita sebagai makhluk moral. Seperti diketahui manusia memang makhluk multidimensi: bio-fisikal, sosio-politikal, mental-intelektual, dan moral-spiritual.
Manusia sebagai makhluk moral yang mendiami sebuah ruang spiritual ditandai dengan kemampuannya memahami, merasakan dan memberi respon terhadap fakta-fakta moral. Fakta-fakta moral ini dapat dipahami oleh manusia melalui sebuah fakultas yang disebut kesadaran moral. Sedangkan kesadaran moral manusia terdiri dari tiga jenjang, yaitu:
1. Kesadaran tentang eksistensi dirinya (self-awareness atau self-consciousness);
2. Kesadaran tentang eksistensi dunia sekelilingya (cosmo-awareness);
3. Kesadaran tentang eksistensi Tuhan dan dunia rohani transendental (theo-awareness).
Totalitas kesadaran inilah yang disebut sebagai kesadaran moral (moral awareness), yang dibangun dan berkembang melalui proses-proses penyadaran persepsional-rasional melalui pendidikan pada umumnya, dan melalui pendalaman teks-teks sakral khususnya.
Namun, secara dinamik-kontinual, terdapat pula sebuah instansi khusus dalam diri manusia sebagai lokasi kesadaran moral ini, yaitu apa yang disebut sebagai hati nurani. Lokasi ini berfungsi sebagai instansi yang senantiasa aktif menyuarakan kebenaran moral, yakni suara Tuhan sendiri. Itulah sebabnya hati nurani (hati yang mendapat nur Allah) disebut juga suara hati. Ia selalu bersuara meskipun kita tidak setuju, bahkan suaranya bertambah keras jika kita melakukan hal-hal yang menyalahi prinsip moral. Dan jika kita nekat melakukan hal-hal yang kita ketahui salah, maka terbitlah rasa bersalah (guilty feeling) dalam hati kita. Hanya jika suara hati ini terus-menerus ditindas, maka pada akhirnya ia akan sungguh-sungguh diam dan bungkam. Pada saat inilah manusia bertiwikrama menjadi monster berpakaian manusia.
Dalam bahasa Inggris, hati nurani disebut conscience (con = bersama; science = pengetahuan); yang berarti pengetahuan atau kesadaran (moral) bersama. Fenomena ini hanya mungkin terjadi jika terdapat ruang moral (spiritual) yang bersifat universal. Dan kenyataannya manusia memang hidup dalam ruang moral universal ini, sehingga perasaan tidak adil misalnya, segera dapat dirasakan semua orang. Atau sebuah kebenaran umum dengan mudah disetujui semua orang. Katakanlah, jika seorang anak kecil disiksa oleh orangtuanya (child abuse), maka dapat dipastikan semua orang akan menyalahkan orangtua tersebut. Dan umpamakan lagi, ada panti asuhan yang bersedia menampung anak yang malang itu, maka semua orang juga akan setuju.
Ciri utama manusia moral ialah kemampuannya untuk bertindak berdasarkan prinsip moral. Bukan oleh emosi dan bukan oleh naluri. Misalnya, orang berpuasa karena Allah. Meskipun berpuasa sampai taraf tertentu mengabaikan kebutuhan biologis dan secara emosional melelahkan pula, namun kemampuan manusia berpuasa – yang mengambil kekuatannya dari ranah spiritual itu – sekaligus menunjukkan identitasnya sebagai manusia moral dan mendemonstrasikan ketangguhan moralnya.
Sebaliknya hewan, selalu bertindak hanya oleh dorongan emosi dan naluri, bukanlah makhluk moral. Memang manusia pun jika menurutkan naluri dan emosinya, akan jatuh ke tingkat hewani. Maka latihan-latihan moral dalam setiap pengambilan keputusan dalam kehidupan kita hanya bisa mengarah ke dua hal: pertama, memperlemah ketangguhan moral kita dan menjadi dekat dengan hewan, atau kedua, memperkuat ketangguhan moral kita dan menjadi dekat dengan sifat-sifat ketuhanan.
Karakter yang berkembang menuju keilahian, pada tingkat kerja, mampu menghasilkan kinerja-kinerja berskala dunia atau sukses berskala peradaban. Beberapa bukti: Motivasi cintalah yang menghasilkan Taj Mahal. Motivasi ibadahlah yang menghasilkan Borobudur. Motivasi to understand the mind of God-lah yang memampukan Einstein berkarya menghasilkan Teori Relativitas.
Inilah pulalah yang terjadi dengan Amartya Sen. Ia memilih untuk berfihak pada kebaikan dan konsisten mempertahankan keyakinannya, bahwa kita seharusnya membela kaum yang kurang beruntung, di tengah arus sebaliknya, yang mengakibatkan cemoohan pada dirinya. Sen menekuni pilihan moralnya melalui ilmu ekonomi. Dan saya yakin pilihan moral yang sama dapat ditekuni melalui bidang yang berbeda seperti penulisan, perdagangan, perpolitikan, hukum, kerohanian, dan lain-lain.
Dalam kaitan ini ketangguhan moral (moral power) sesorang, yang menjadi fundasi keberhasilan yang kita maksud, setidaknya ditentukan oleh tiga hal:
1.Ketinggian kesadaran dan pengetahuannya akan prinsip-prinsip moral yang mengatur semua fakta-fakta moral dalam kehidupan;
2.Kemantapan keyakinannya atas eksistensi prinsip-prinsip moral di atas; dan
3.Kekuatan komitmennya untuk menerapkan prinsip-prinsip moral yang diketahuinya dalam kehidupannya baik pada tingkat personal, organisasional dan sosial.
Apakah prinsip moral itu? Saya merumuskan prinsip moral sebagai hukum-hukum dan aturan-aturan moral, berbentuk anjuran dan larangan, yang dibuat berlandaskan nilai-nilai moral dasar (basic moral values).
Sedangkan nilai-nilai moral dasar menurut saya, hanya ada tiga saja, yaitu kebenaran, keadilan dan kebaikan. Semua prinsip moral, hukum moral dan aturan moral selalu dapat diungkapkan dengan ketiga nilai dasar ini. Ini analog dengan ruang fisikal. Dalam ruang fisikal, hanya terdapat tiga dimensi dasar: panjang, lebar, dan tinggi; yang secara matematis dinyatakan dengan sumbu x, sumbu y, dan sumbu z. Semua garis, bidang, dan ruang dalam alam tiga dimensi selalu dapat dinyatakan sebagai ekspressi x,y, dan z.
Perhatikan misalnya rumusan prinsip moral yang diusulkan oleh Goodpaster berikut untuk industri farmasi yang secara keseluruhan bisa disebut sebagai etika bisnis farmasi:
1.Jangan mencelakakan atau merugikan orang lain;
2. Hormatilah hak-hak orang lain;
3. Jangan berdusta atau menipu;
4. Tepati janji dan penuhi semua kontrak;
5. Patuhi peraturan dan jangan melanggar hukum;
6. Bantulah mereka yang sedang butuh;
7. Bersikaplah adil; dan
8. Usahakanlah kebaikan bagi masyarakat.
Jika dicermati, semua prinsip moral di atas selalu dapat dinyatakan dalam tiga kaidah moral dasar tadi, yakni kebenaran, keadilan dan kebaikan.
Prinsip moral, oleh karena keunggulan eksistensinya, dan oleh karena adanya kesadaran moral universal, kemudian menjadi basis utama dari pekerjaan apa pun untuk dapat mencapai sebuah keberhasilan yang berkualitas. Konsekuensinya, semua pekerjaan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip moral umum dapat dipastikan akan gagal dengan sendirinya, cepat atau lambat.
***
Dalam kaitan ini, makna sukses juga harus kita reformasi. Sukses yang hanya diukur dengan kekayaan, kekuasaan, pangsa pasar, aset, fasilitas, pertumbuhan sudah tidak memadai lagi. Sudah semakin hilang daya pukaunya. Kita harus berbicara tentang sukses dalam ranah lebih fundamental seperti kemanusiaan, kebahagiaan, keadilan, kekekalan, kasih sayang, demokrasi, dan kebahagian. Dalam artian inilah motto Institut Darma Mahardika kami buat: Success Re-Invented. Saya berpendapat, yang kita butuhkan adalah emas, bukan loyang; sukses sejati dan bukan sukses palsu. Bagi saya, ciri-ciri sukses sejati itu hendaknya memenuhi enam syarat sebagai berikut:
1.Sejati: Sukses yang benar mestinya berdiri di atas kenyataan sejati, pertama-tama dalam dunia moral-spiritual, dan baru kemudian dalam dunia bio-fisikal, mental-psikologikal, dan sosio-politikal. Sebaliknya sukses semu, karena kepalsuannya, cepat atau lambat, akan menemui kesudahannya secara tragis.
2.Lengkap: Sukses yang benar harus mencakup semua dimensi kehidupan secara komprehensif, meliputi spiritual, moral, psikologikal, intelektual, fisikal, material, finansial dan sosial secara lengkap. Sebaliknya sukses parsial, monodimensional, karena ketidakseimbangannya, cepat atau lambat, akan runtuh dan bubar sendiri.
3.Menumbuhkan: Sukses yang benar mestinya menumbuhkembangkan manusia dalam sebuah ekosistem kehidupan yang sehat yang memungkinkan manusia itu hidup sepenuh-penuhnya (living to the fullest). Sebaliknya sukses yang keliru, karena justru menghambat pertumbuhan manusia bahkan merusakkannya, secara pasti akan menuju kehancuran.
4.Membebaskan: Sukses yang benar seharusnya membebaskan manusia setidaknya dari empat belenggu: (1) membebaskan manusia dari kebodohan dan takhyul, sehingga dia merdeka untuk berpikir dan bekerja secara rasional; (2) membebaskan manusia dari ketakutan dan perasaan tertindas, sehingga dia merdeka untuk berekspresi dan beraktualisasi; (3) membebaskan manusia dari kelemahan moral dan kelumpuhan mental, sehingga dia merdeka untuk proaktif dan kreatif; (4) membebaskan manusia dari kemiskinan dan kekhawatiran hidup, sehingga dia merdeka untuk memberi dan berbagi dengan sesama. Pembebasan dan kebebasan ini memungkinkan manusia menjadi makhluk merdeka yang berjalan tegak mandiri menuju cita-cita agungnya di cakrawala yang terjauh (leading to the farthest). Sebaliknya sukses yang keliru, karena justru membelenggu manusia oleh macam-macam belenggu perhambaan seperti materialisme atau hedonisme akan tiba pada kerusakan total.
5.Memperbarui: Sukses yang benar seharusnya mampu memperbarui manusia dari dalam menuju tingkat tertinggi dalam evolusi mental-spiritual manusia, sehingga perjalanan hidup manusia secara kualitatif meningkat dari waktu ke waktu (leaping to the highest). Sebaliknya sukses yang keliru, oleh karena bercokol terus di alam lama, akan ketinggalan dan kehilangan relevansinya dalam kehidupan, cepat atau lambat, akan punah dengan sendirinya.
6.Membahagiakan: Sukses yang benar seyogianya mendatangkan sukacita dan ketenteraman batin. Sukses yang benar pastilah diridhoi Allah, sehingga olehnya manusia dapat menjadi faktor berkat bagi sesama dan alam sekelilingnya. Dia tidak menjadi faktor mudarat, tidak dicemburui orang, tidak menyilaukan, tidak mengintimidasi, dan tidak menjauhkan manusia itu dari habitat sosial alamiahnya. Dia hidup harmonis dalam suasana cinta mencintai dengan kasih sayang terbaik dengan sekitarnya (loving to the best). Sebaliknya sukses yang keliru, karena sangat egoistik, akan mendatangkan ketidakpuasan batin dan rasa tak pernah cukup yang memicu keserakahan dan keangkuhan yang membuahkan kebencian dari sekitarnya yang pada gilirannya mendatangkan kehancuran dirinya sendiri.
Saya berpendapat bahwa jika konsep sukses tidak memenuhi enam syarat di atas, maka sukses macam itu tidak patut dikejar, karena sesungguhnya upaya itu tak ubahnya mengejar bayangan hampa yang dibungkus dengan kesia-siaan. Menurut Raja Salomo, hal tersebut adalah upaya menjaring angin. Percuma dan akhirnya mengecewakan.
Selanjutnya, disamping fundasi moral-etikal, untuk mencapai keberhasilan sejati di atas dibutuhkan sedikitnya empat faktor berikut ini:
1. Roh sukses sebagai sumber energi untuk berjuang mencapai sukses.
2. Kecerdasan sebagai modal untuk memahami realitas kehidupan, sehingga terbentuk akumulasi pengetahuan untuk tujuan-tujuan produktif.
3. Kompetensi sebagai basis untuk memproduksi nilai-nilai yang positif bagi kehidupan.
4. Fasilitas termasuk pelbagai bentuk modal, organisasi dan network.
Keberhasilan yang dicapai dengan melanggar prinsip-prinsip moral pasti akan hancur. Keberhasilannya adalah keberhasilan semu, atau paling-paling keberhasilan parsial. Lama bertahannya cuma ditentukan oleh kekuatan kasar (brute power) dari orang atau sistem yang mendukungnya. Sukses Ferdinand Marcos bertahan selama 20 tahun. Sukses Soeharto lebih lama sedikit, 32 tahun. Sukses Komunisme lebih lama lagi, 75 tahun. Akan tetapi jelas sekali, cepat atau lambat akhirnya pasti hancur. Di fihak lain, keberhasilan yang ditopang dengan moralitas kegelapan, seperti bisnis Mafia misalnya, bisa bertahan sangat lama, namun mereka harus membayarnya dengan menjual jiwa mereka kepada The Father of Darkness itu sendiri. Bisnis demikian akan membawa maut di ujungnya.
Bukankah lebih baik mengikuti jejak Amartya Sen?
No comments:
Post a Comment