Oleh
I. Etika Dalam Ruang Kehidupan Sosial
Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti “basic human moral attitude” (sikap moral dasar manusia). Dalam bahasa Sanskerta, etika berarti kesusilaan, yakni pedoman tingkah laku yang luhur secara moral. Sedangkan dalam agama, etika selalu merujuk pada perilaku yang berkenan kepada Allah, harus sesuai dengan kehendak Allah. Itulah ahlak mulia, ahlak bermoral.
Jadi, pembicaraan tentang etika dengan demikian harus membicarakan jati diri manusia sebagai manusia moral. Fakta terpenting adalah bahwa sebagai makhluk moral manusia mendiami sebuah ruang spiritual (spiritual space; moral space) yang ditandai dengan kemampuannya memahami, merasakan dan memberi respons terhadap fakta-fakta moral. Pemahaman ini terjadi melalui sebuah fakultas yang disebut kesadaran moral (moral awareness) yang terdiri dari tiga jenjang:
1. Kesadaran tentang keberadaan dirinya (self-awareness);
2. Kesadaran tentang keberadaan dunia fisikal sekelilingya (cosmo-awareness);
3. Kesadaran tentang keberadaan dunia spiritual dan transendental (spiritual-awareness).
Contoh self-awareness misalnya: Nama saya Supartini, seorang perempuan, berusia 40 tahun, tinggi sedang, perawakan langsing, kulit sawo matang, cantik menurut paradigma sosial masa kini, anak pertama dari enam bersaudara, putri seorang pegawai negeri Bapak Sumitro Kadir yang beristerikan Ibu Sumini, dari etnis Jawa, beragama Islam, menikah dengan Mas Suparjo, dikaruniai sepasang anak, bekerja sebagai dosen di IPB, suka menulis, mempunyai kekayaan sekian, hutang sekian, dan seterusnya.
Contoh cosmo-awareness misalnya: Saya tinggal di Perumahan Danau Angsa, di pinggir kota Bogor, empat kilometer dari Istana Bogor, dua ribu kilometer dari Medan, sepuluh ribu kilometer dari Kutub Utara, delapan menit cahaya dari Matahari, yang terletak di tepi tata surya berusia 5 milyar tahun dalam galaksi Bimasakti, diam dalam kota yang berpenduduk satu juta jiwa, di Pulau Jawa yang padat penduduk, dalam sebuah masyarakat majemuk yang didominasi orang Sunda, pada sebuah titik sejarah di awal abad 21, yang baru saja lepas dari sebuah rezim totaliter bernama Orde Baru, kemudian mengikuti sebuah pemilu yang demokrastis dengan 24 partai, menuju sebuah cita-cita masyarakat Indonesia baru yang madani, dan seterusnya.
Sedangkan contoh spiritual-awareness misalnya: Saya seorang makhluk ciptaan Tuhan, dihidupi oleh Tuhan, dan akan kembali pada-Nya kelak. Sebagai umat-Nya, saya tahu bahwa saya dipanggil untuk berbuat baik, mencegah kemungkaran, mengasihi sesama, mengelola alam dengan cinta, bekerja dengan iman dan harapan pada Tuhan, dan seterusnya.
Totalitas ketiga kesadaran ini saya sebut sebagai kesadaran moral (moral awareness), yang dibangun dan berkembang melalui proses-proses penyadaran persepsional-rasional, intelektual-batiniah, dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran dalam arti seluas-luasnya. Secara khusus, kesadaran moral ini memampukan manusia untuk mengetahui (1) apa yang benar dan salah, (2) apa yang baik dan buruk, serta (3) apa yang adil dan batil.
Apabila kita berperilaku seturut dengan kesadaran moral ini maka secara psiko-batiniah kita merasa telah menjadi manusia yang bermoral dan etis. Selanjutnya, semua fakta dalam kesadaran moral ini membentuk jati diri kita yang mendefiniskan posisi kita dalam tata kehidupan, sekaligus merumuskan tugas dan tanggungjawab kita secara umum. Jati diri ini kemudian menjadi basis dari semua cita-cita kita, termasuk harapan dan misi kehidupan kita. Kesadaran moral ini juga menciptakan konteks kehidupan kita yang menyediakan orientasi, kiblat, arah dan panggilan kehidupan kita. Juga, kesadaran ini menjadi penentu (determinan) perilaku kita, merumuskan standar dan kriteria sukses kehidupan kita, dan menyediakan makna dari semua aktivitas kita.
Secara dinamik-kontinual, terdapat sebuah instansi khusus dalam diri manusia sebagai lokasi kesadaran moral ini, yaitu apa yang disebut sebagai hati nurani. Lokasi ini berfungsi sebagai instansi yang senantiasa aktif menyuarakan kebenaran moral, yang secara universal diyakini sebagai suara Tuhan sendiri. Itulah sebabnya hati nurani (hati yang mendapat nur Tuhan) disebut juga suara hati. Ia selalu bersuara meskipun kita tidak setuju, bahkan suaranya bertambah keras jika kita melakukan hal-hal yang menyalahi prinsip moral kita. Dan jika kita nekat melakukan hal yang kita ketahui tidak benar/adil/baik, maka kita akan mengalami sebuah perasaan bersalah (guilty feeling). Hanya jika suara hati ini terus-menerus ditindas dan dibungkam, ia pada akhirnya sungguh-sungguh diam dan bungkam. Pada saat inilah manusia moral bertiwikrama menjadi manusia nirnurani, yaitu monster berpakaian manusia.
Dalam bahasa Inggris, hati nurani disebut conscience (con=bersama; science= pengetahuan); yang berarti pengetahuan atau kesadaran moral bersama. Fenomena ini hanya mungkin terjadi jika terdapat ruang moral yang bersifat universal seperti yang telah disebut di atas. Dan kenyataannya manusia memang hidup dalam sebuah ruang moral universal, sehingga perasaan tidak adil misalnya, segera dapat dirasakan semua orang. Atau sebuah kebenaran umum dengan mudah disetujui semua orang.
Ciri utama manusia moral ialah kemampuannya untuk bertindak berdasarkan sebuah prinsip moral, bukan oleh emosi dan bukan oleh naluri. Misalnya, orang berpuasa karena mematuhi perintah Allah meskipun hal itu melawan kebutuhan biologisnya dan secara emosional melelahkan. Dalam kaitan ini kekuatan dan keteguhan moral seseorang ditentukan oleh tiga hal, yaitu:
1.Ketinggian kesadaran dan kedalaman pengetahuannya akan prinsip-prinsip moral yang mengatur semua fakta-fakta moral dalam kehidupan;
2.Kemantapan keyakinannya atas eksistensi prinsip-prinsip moral diatas; dan
3.Kekuatan komitmennya untuk menerapkan prinsip-prinsip moral yang diketahuinya dalam kehidupannya baik pada tingkat personal, organisasional maupun sosial.
Istilah prinsip moral perlu dijelaskan lebih lanjut. Saya merumuskan prinsip moral sebagai hukum-hukum dan aturan-aturan moral, berbentuk anjuran dan larangan, yang dibuat berlandaskan nilai-nilai moral dasar (basic moral values). Sedangkan nilai-nilai moral dasar, menurut saya, hanya ada tiga saja, yaitu: kebenaran, keadilan dan kebaikan. Semua prinsip moral, hukum moral, kaidah moral, dan aturan moral yang lain selalu dapat diungkapkan dengan ketiga nilai dasar ini. Perhatikan misalnya rumusan kaidah moral yang diusulkan oleh Goodpaster berikut ini untuk industri farmasi:
1. Jangan merugikan atau mencelakakan orang lain;
2. Hormatilah hak-hak orang lain;
3. Jangan berdusta atau menipu;
4. Tepati janji dan penuhi semua kontrak;
5. Patuhi peraturan dan jangan melanggar hukum;
6. Bantulah mereka yang sedang membutuhkan;
7. Bersikaplah adil terhadap semua; dan
8. Usahakanlah kebaikan umum bagi masyarakat.
Dan kalau disepakati, kaidah moral ini dapat disebut sebagai “etika bisnis farmasi”. Jika dicermati, maka semua kaidah moral di atas selalu dapat dinyatakan dalam tiga nilai moral dasar tadi: yakni kebenaran, keadilan dan kebaikan.
Kaidah-kaidah moral, oleh karena keunggulan eksistensialnya dan fenomena kesadaran moral universal tadi, kemudian menjadi basis utama dari kegiatan apapun. Konsekuensinya, semua pekerjaan, bisnis, sistem politik, atau tatanan sosial yang bertentangan dengan prinsip-prinsip moral umum dapat dipastikan akan gagal dengan sendirinya. Keberhasilan yang dicapai dengan melanggar prinsip-prinsip moral, cepat atau lambat, pasti akan hancur. Keberhasilannya adalah keberhasilan semu, atau paling-paling keberhasilan parsial. Lama bertahannya cuma ditentukan oleh kekuatan kasar (brute power) dari orang atau sistem yang mendukungnya. Sukses Ferdinand Marcos bertahan selama 20 tahun. Sukses Soeharto lebih lama sedikit, 32 tahun. Sukses Komunisme Rusia lebih lama lagi, 75 tahun. Akan tetapi jelas sekali, cepat atau lambat semuanya hancur berantakan.
Dalam ungkapan lebih komprehensif, Mahatma Gandhi dengan elegan merumuskan tujuh sebab kehancuran suatu tatanan masyarakat beradab. Gandhi menyebutnya sebagai tujuh dosa maut:
1. Commerce Without Morality - Bisnis Tanpa Etika
2. Wealth Without Work - Kaya Tanpa Kerja
3. Pleasure Without Conscience - Nikmat Tanpa Nurani
4. Knowledge Without Character - Ilmu Tanpa Karakter
5. Science Without Humanity - Sains Tanpa Kemanusiaan
6. Politics Without Principles - Politik Tanpa Prinsip
7. Religion Without Sacrifice - Agama Tanpa Korban
Intisari ketujuah dosa maut ini adalah pelanggaran atas nilai-nilai moral dasar atau pelecehan atas nilai-nilai etika umum. Jadi dapat disimpulkan bahwa bekerja dan berusaha dalam rangka mencapai sukses sejati paripurna, sesungguhnya tidak tersedia pilihan lain, selain membangun seluruh tatanan kerja itu sendiri di atas prinsip-prinsip moral yang benar, baik, dan adil. Artinya tanpa adanya etika yang jelas dan komprehensif, tidak akan mungkin ada keberhasilan sejati dan langgeng.
Manusia moral, pada level selanjutnya, juga tinggal dalam sebuah ruang sosial. Karenanya manusia juga disebut makhluk sosial. Ruang sosial itu disebut juga ruang antarmanusia. Dalam ruang inilah manusia tinggal, bekerja, dan berinteraksi dengan sesamanya dalam pelbagai wacana. Jika wacana mereka adalah ekonomi maka mereka berada dalam sub-ruang ekonomi. Jika wacananya agama maka mereka berada dalam sub-ruang agama. Demikian seterusnya manusia dapat hidup dalam pelbagai sub-ruang khusus dalam ruang sosial tadi dengan wacana-wacana khusus seperti ideologi, politik, teknologi, hankam, birokrasi, dan lain-lain.
Setiap sub-ruang memiliki wacananya sendiri lengkap dengan prinsip, sistem, aturan dan protokol masing-masing. Akan tetapi apa pun wacana mereka di sub-ruang sosial tersebut, semuanya mempunyai basis berturut-turut di ruang fisikal, psikologikal dan moral.
Delapan sub-ruang terpenting pada ruang sosial ini ialah hukum, politik-ideologi, bisnis-ekonomi, keluarga, agama, hankam, dan birokrasi seperti diuraikan ringkas berikut ini.
10.Sub-ruang Hukum: Wacana dalam sub-ruang ini berkisar di seputar keadilan, bagaimana menegakkan keadilan dalam masyarakat, dan bagaimana agar setiap individu dan organisasi dapat terjamin menerima perlakuan adil dari dunia sekelilingnya.
1.Sub-ruang Politik-Ideologi: Wacana dalam sub-ruang ini berkisar di seputar kekuasaan, bagaimana memperoleh kekuasaan, dan menggunakan kekuasaan itu untuk mencapai tujuan-tujuan ideal masyarakat; khususnya bagaimana membangun suatu kehidupan berbangsa dan bernegara, dan bagaimana merumuskan tujuan dan cita-cita kehidupan bermasyarakat, serta strategi mencapainya dengan menggunakan kekuasaan politik yang diperoleh.
2.Sub-ruang Bisnis-Ekonomi: Wacana dalam sub-ruang ini berkisar di seputar keuntungan finansial, bagaimana menciptakan dan memproduksi barang dan jasa, bagaimana mendistribusikannya, dan bagaimana memperoleh keuntungan lebih besar sebagai kapital lanjutan untuk menggerakkan roda bisnis dan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi, sehingga dicapai kemakmuran material sebesar-besarnya bagi masyarakat.
3.Sub-ruang Keluarga: Wacana dalam sub-ruang ini berkisar di seputar kebahagiaan, bagaimana memperoleh dan menciptakan kebahagiaan, berketurunan, dan saling memelihara dalam ikatan kasih sayang.
4.Sub-ruang Budaya: Wacana dalam sub-ruang ini berkisar di seputar mutu kehidupan manusia, bagaimana mengembangkan kualitas akal budi manusia, sehingga peri kehidupan manusia mencapai martabat setinggi-tingginya.
5.Sub-ruang Agama: Wacana dalam sub-ruang ini berkisar di seputar keselamatan manusia di dunia dan akhirat, bagaimana mengembangkan kemanusiaan yang bermoral dan mengabdi pada Tuhan, bagaimana membangun suatu tata kehidupan yang penuh makna, dan bagaimana mengejawantahkan kehidupan bermakna tersebut di dunia ini secara benar, sehingga masyarakat dapat hidup dengan damai, tenteram dan saling mengasihi.
6.Sub-ruang Hankam: Wacana dalam sub-ruang ini berkisar di seputar keamanan dan ketertiban, bagaimana mempertahankan kedaulatan negara yang menjamin rasa aman, bagaimana menjaga ketertiban umum, dan menindak anasir-anasir kejahatan yang merusak tatanan kehidupan masyarakat.
7.Sub-ruang Birokrasi: Wacana dalam sub-ruang ini berkisar di seputar manajemen organisasi, bagaimana mendistribusikan kekuasaan dari puncak piramida organisasi ke setiap eselon di bawahnya, mengontrolnya, dan mengefektifkannya untuk mencapai tujuan-tujuan organisasional.
Nyatalah bahwa ruang sosial merupakan wahana kehidupan yang paling dominan. Di sana manusia mengerahkan energi bio-psiko-spiritualnya dalam konteks sosial tertentu untuk mencapai sukses yang didambakan. Di sini sukses sosial dirumuskan sebagai sukses yang diperoleh melalui kerja dengan memanfaatan secara cerdas semua prinsip-prinsip sosial yang ada. Semakin tinggi penguasaan teknologi sosialnya semakin besar pula sukses yang bisa diraih.
Dalam permulaan milenium baru ini, ketika kita merasakan bahwa dunia menjadi semakin menyatu oleh teknologi informasi digital dan perhubungan supercepat, maka kebutuhan akan sebuah etika global semakin mendesak. Kemendesakan (urgency) ini terutama terasa karena menguatnya kesadaran global tentang peranan etika sebagai fundamental tata kehidupan dalam skala apa pun. Dalam format negatifnya, kini disadari bahwa pelecehan etika akan membawa konsekuensi global, yaitu terancamnya kehidupan bersama di bumi kecil milik Tuhan dalam tata surya yang beroperasi dengan hukum-hukum alam yang jelas. Dan jika hal ini diabaikan maka ia akan mengakibatkan krisis lingkungan dan krisis kosmik.
II. Krisis Lingkungan dan Keniscayaan Sebuah Etika Global
Agenda lingkungan hidup kini sudah menjadi agenda internasional di segala bidang: politik, perdagangan, industri dan lain-lain. Agenda ini muncul dan terus semakin menguat karena kesadaran lingkungan semakin merata justru karena kekhawatiran yang semakin besar akan terancamnya kualitas bumi kita sebagai satu-satunya tempat hidup di alam semesta yang maha luas tanpa tepi.
Para astronom dan kosmolog sudah mencoba merambah sampai ke tepi-tepi alam semesta dengan menggunakan teknologi tercanggih untuk berusaha menemukan sebuah lokasi kehidupan lain di luar bumi. Menurut perkiraan statistik, di alam semesta (universe) yang dapat diukur hingga kini terdapat sekitar 100 milyar planet yang di dalamnya seyogianya terdapat kehidupan seperti di bumi. Namun sampai detik ini sebuah earth-like planet yang bisa dihidupi itu belum berhasil ditemukan! Kini orang semakin percaya saja bahwa bumi memang satu-satunya planet di alam semesta dimana Tuhan berkenan menyelenggarakan kehidupan. Kesadaran ini memang sangat menakjubkan tetapi sekaligus juga sangat mengkhawatirkan, yaitu bahwa umat manusia ternyata sangat mungkin mengalami kiamat kosmik-astronomis, khususnya kiamat lingkungan karena ulah manusia itu sendiri yang cenderung memperkosa ibu pertiwinya.
Maka memasuki milenium baru, menyitir John Naisbitt, kita sebenarnya sedang memasuki zaman lingkungan, tepatnya era restorasi lingkungan yang didasari oleh cinta pada bumi dan segenap kehidupan di dalamnya.
Era kezaliman terhadap lingkungan kini sudah melewati titik baliknya menuju keusaiannya. Ke depan, usaha-usaha yang masih mencemari lingkungan tidak memiliki harapan lagi. Produk-produk yang dihasilkan dengan biaya lingkungan yang mahal tidak lagi mempunyai tempat di pasar internasional. Sebaliknya, etos baru yang cinta lingkungan kini sedang bertumbuh menguat.
Krisis lingkungan memang tidak berdiri sendiri. Ia hadir secara bertautan dan berpilin rumit dengan krisis-krisis lainnya di bidang politik, moneter, sosial, budaya, pendidikan dan lain-lain. Secara umum krisis-krisis multidimensional tersebut muncul karena tidak seimbangnya porsi “hi-tech” dengan “hi-touch” kita. Istilah “hi-tech” merujuk pada ilmu dan teknologi sedangkan “hi-touch” merujuk pada etika dan moralitas. Kemajuan ilmu dan teknologi kita telah berlangsung dengan kecepatan yang mengikuti kurva eksponensial (terutama pada abad 20) sedangkan kemajuan etika dan moralitas kita ternyata hanya mengikuti garis lurus mendatar.
Sementara manusia sudah sampai menjelajah bulan dan planet Mars, mereparasi gen dan kromosom, merakayasa komputer dan mesin-mesin supercanggih; tetapi di berbagai belahan dunia kebencian antaragama, antaretnik dan antarras masih berlangsung dengan menakutkan; lingkungan rusak dimana-mana; dan korupsi berlangsung pada tingkat yang sangat tidak senonoh. Krisis kemudian mengancam dimana-mana. Seperti dikatakan mantan Menteri Lingkungan Hidup, Sonny Keraf, dengan tepat, "Bangsa ini sekarang hancur karena etika dan moralitas bangsa telah hancur dan rusak."
"Krisis lingkungan terjadi", menurut Keraf, "bukan karena bangsa Indonesia tidak menguasai ilmu dan teknologi, melainkan karena kita mengabaikan etika dan moralitas. Hutan rusak, udara dan air tercemar, serta sederet masalah lingkungan terjadi bukan karena bangsa Indonesia tidak pandai dalam ilmu ekonomi dan teknologi, tetapi karena oknum-oknum Indonesia telah sedemikian tidak bermoral, rakus dan tamak, serta hanya memikirkan kepentingan sendiri dengan mengabaikan kepentingan orang lain dan generasi mendatang."
"Dalam kaitan ini, yang dibutuhkan bagi pembangunan lingkungan hidup bukan hanya teknologi dan profesionalisme, tetapi juga etika dan moralitas. Yang dibutuhkan bukan hanya otak, melainkan juga hati. Oleh karena itu kementerian ini tidak membutuhkan hanya “high tech” yang sudah dikuasai banyak ahli di kantor ini. Yang terutama dibutuhkan adalah “high touch”, sentuhan moral, etika dan pendekatan budaya”, kata Sonny selanjutnya.
Sonny Keraf tidak sendirian. Pada tingkat global pengenalan masalah seperti itu sudah semakin jelas. Masalah-masalah dan krisis-krisis kita ternyata tidak khas Indonesia, tetapi merupakan sebuah fenomena global. Artinya terdapat juga masalah-masalah global dan krisis-krisis global yang kait mengait dengan kita di Indonesia.
Hans Kung, direktur Center for Global Ethics yang bermarkas di Tubingen, Jerman, mencatat bahwa dunia kita masih tetap berduka karena ratusan juta orang menderita karena pengangguran, kemiskinan, kelaparan dan rusaknya institusi keluarga. Perdamaian antarbangsa semakin jauh. Hubungan antargenerasi, antarsuku dan antaragama menegang. Jutaan anak-anak mati, membunuh dan dibunuh. Banyak negeri yang gonjang-ganjing oleh mega-korupsi terutama di bidang politik dan bisnis. Jutaan orang terusir dari habitatnya karena perang. Hidup rukun semakin sulit karena berbagai konflik sosial dan rasial. Tetangga merasa takut terhadap tetangganya. Belum lagi soal narkoba, kejahatan terorganisir, serta anarki dan kriminal. Masih ditambah soal planet kita yang terus bertambah rusak karena keserakahan manusia dan kelompok industri besar. Maka ekosistem kehidupan kita pun terancam kolaps. Dan semua ini menjadi ancaman bagi kita semua. Demikian uraian Hans Kung yang serasa bicara tentang Indonesia, padahal dia sedang bicara tentang dunia yang baru saja menyambut subuh milenium baru dengan gegap gempita.
Secara hakiki, Kung dan Keraf sependapat, bahwa pada tingkat paling fundamental, semua masalah ini terjadi karena umat manusia tidak mampu hidup sesuai dengan warisan moral kemanusiaannya yang luhur. Individu dan organisasi ternyata berperilaku menyimpang yang dalam skala global kemudian menjadi monster yang mengancam eksisitensi kita semua.
Untuk mengatasi masalah ini sangat tidak mudah. Solusinya amat kompleks. Tetapi himpunan solusi apapun, semuanya harus dimulai dari sebuah kesadaran baru. Kesadaran baru ini kemudian harus disosialisasikan sehingga membentuk paradigma bersama tentang perlunya perubahan perilaku kita secara bersama, mulai pada tingkat individual, lokal dan akhirnya global. Logika paradigma bersama ini, menurut Kung, secara sederhana dapat diungkapkan sebagai berikut:
1.Kehidupan di bumi ini: tumbuhan, hewan dan manusia berada dalam suatu saling ketergantungan yang erat dan bahwa perilaku menyimpang umat manusia -- sebagian atau seluruhnya -- dapat menghancurkan seluruh tata kehidupan bersama kita secara global.
2.Kenyataannya, dunia kita sedang mengalami krisis fundamental: krisis ekonomi global, krisis ekologi global, dan krisis politik global sebagai manifestasi dari sikap dan perilaku manusia yang mengabaikan etika dan moralitas dasar.
3.Karena itu, kita semua mempunyai tanggungjawab yang sama untuk menciptakan sebuah tata kehidupan global baru yang lebih baik sehingga kehidupan bisa berlangsung secara berkelanjutan;
4.Keterlibatan kita untuk menegakkan kebebasan, keadilan, perdamaian, hak asasi manusia, dan pelestarian lingkungan hidup merupakan hal yang perlu dan seharusnya;
5.Dan perbedaan-perbedaan kita dalam tradisi religius dan kultural semestinya tidak perlu menghalangi keterlibatan bersama kita dalam melawan semua bentuk kejahatan dan perilaku-perilaku meyimpang yang membahayakan tata kehidupan global kita;
6.Meskipun etika dan moralitas saja tidak bisa menyelesaikan semua masalah di dunia ini, tetapi etika menyediakan landasan moral bagi solusi-solusi lain di bidang ekonomi, politik, dan hukum; yaitu bahwa etika menyediakan nilai-nilai batiniah yang membangkitkan inspirasi, orientasi dan makna dalam hati manusia.
7.Karena tata kehidupan global yang lebih baik tidak mungkin dicapai tanpa adanya etika global, maka harus dicari bersama -- dari kekayaan tradisi kepercayaan dan budaya kita -- sehimpunan nilai-nilai moral dasar yang dapat disusun menjadi sebuah Etika Global.
8.Harapan ini semakin kuat, karena sesudah melewati dua perang dunia, ditambah runtuhnya fasisme, naziisme, komunisme, kolonialisme, imperialisme dan berakhirnya perang dingin; dunia sebenarnya sedang memasuki fase baru dalam sejarahnya; yaitu bahwa dunia kini memiliki sumber daya spiritual, ekonomi, dan budaya yang cukup untuk membangun sebuah tata kehidupan global yang lebih baik.
Kesadaran baru di atas kemudian mendorong berbagai fihak untuk merumuskan sebuah Etika Global yang dapat dipakai sebagai platform bersama untuk menata kehidupan global yang baik dan berkelanjutan. Dengan penugasan Parlemen Agama-agama Sedunia, Hans Kung pada tahun 1993 menyusun apa yang kemudian dikenal sebagai Declaration for Global Ethics. Batang tubuh deklarasi ini terdiri dari empat komponen yang saripatinya disajikan berikut ini:
1.Membangun Budaya Non-Kekerasan dan Sikap Hormat Pada Kehidupan.
Bersama-sama kita harus mampu mengalahkan kebencian berkepanjangan dan kekerasan antarindividu, antarkelompok sosial, etnik, ras dan agama. Kecenderungan pada kekerasan ini, khususnya kejahatan terorganisir yang didukung dengan teknologi, telah mencapai proporsi yang menakutkan. Dimana-mana terlihat kecemburuan, iri hati, dan rasa benci yang mengakibatkan permusuhan, pertikaian, kekerasan dan pembunuhan. Karena itu kita harus meyakini kembali perintah lama ini: Jangan membunuh; atau dalam ungkapan positifnya: Hormatilah kehidupan!
Hidup seorang manusia tidak ternilai harganya. Karena itu ia harus dilindungi tanpa kondisi. Tetapi tidak hanya manusia, binatang dan tumbuhan -- yang menghuni planet ini bersama kita -- juga layak dilindungi, dipedulikan dan dijaga. Selain itu, kita juga harus bertanggungjawab terhadap udara, air dan tanah dengan mengingat generasi yang akan datang. Keunggulan manusia atas hewan dan tumbuhan, tidak boleh dilebih-lebihkan, tetapi kita harus mengusahakan hidup rukun dengan alam. Pendeknya, kita harus hormat pada kehidupan, semua kehidupan.
Karena itu, kita harus belajar memecahkan masalah tanpa kekerasan. Hanya dengan itulah budaya non-kekerasan dapat dibangun. Semua orang berhak hidup, mempertahankan, dan membangun dirinya, tetapi tidak boleh sambil menciderai hak-hak orang lain. Memang dimana ada manusia di situ ada konfllik, tetapi konflik harus diselesaikan tanpa kekerasan. Ini merupakan keharusan bagi setiap individu tetapi terlebih bagi penguasa. Para penguasa harus bertekad mempertahankan metoda non-kekerasan dalam kerangka tata perdamaian internasional. Perlu diingat bahwa tidak mungkin kelangsungan hidup bersama kita di bumi ini terjamin tanpa adanya perdamaian. Maka kita tidak boleh berlaku kasar dan kejam, tetapi harus peduli dan bersikap menolong. Setiap orang, setiap golongan, setiap ras dan agama harus menunjukkan toleransi, respek, dan apresiasi terhadap yang lain. Kaum minoritas -- apakah rasial, etnik dan agama -- membutuhkan perlindungan dan dukungan kita bersama.
2.Membangun Budaya Solidaritas dan Tata Ekonomi yang Adil.
Bersama-sama kita harus mampu mengatasi masalah kelaparan, pengangguran, penindasan, kerja paksa dan jurang kaya-miskin akibat ketidakadilan struktural. Pada tingkat yang lebih mengakar, kita juga harus memerangi materialisme, pengejaran laba tanpa batas, serta kanker sosial berupa korupsi dan pencurian. Untuk itulah kita harus meyakini kembali perintah lama ini: Jangan mencuri; atau dalam ungkapan positifnya: Berlakulah jujur!
Tidak ada orang yang berhak mencuri dan merampas milik orang lain, bagaimanapun caranya. Sebaliknya, tidak ada orang yang berhak menggunakan miliknya tanpa mempertimbangakan kebutuhan orang di sekitarnya. Telah nyata bahwa dimana terdapat kemiskinan yang ekstrim, di situ pula terjadi pencurian dan korupsi untuk sekedar bertahan hidup. Sebaliknya, dimana terdapat penumpukan berlebihan atas harta dan kekuasaan, disitu pula muncul kecemburuan, ketidaksenangan dan kebencian. Dua hal ini sangat merangsang terjadinya lingkaran setan "violence and counter-violence". Kuncinya adalah keadilan. Dan kita tahu, tidak akan ada perdamaian global tanpa adanya tatanan global yang adil.
Karena itu, kekuasaan ekonomi dan politik tidak boleh disalahgunakan demi dominasi kelompok tertentu. Sebaliknya kekuasaan harus digunakan untuk melayani kemanusiaan dengan sikap belarasa kepada mereka yang kurang mampu. Kepedulian khusus harus diberikan kepada orang miskin, pengungsi, cacat, jompo, dan mereka yang kesepian. Kebutuhan akan uang, konsumsi, dan gengsi tidak boleh diumbar. Tetapi harus diusahakan agar selalu wajar dan moderat. Kita harus mengingat bahwa keserakahan membuat manusia kehilangan jiwanya, kebebasannya, dan karenanya, justru kehilangan hal-hal yang membuat dia tetap manusia.
3.Membangun Budaya Toleransi dan Hidup dalam Kebenaran.
Bersama-sama kita harus mencela politisi dan usahawan yang memakai teknik penipuan sebagai metoda mencapai sukses. Kita juga harus mengecam media massa yang menyiarkan propaganda alih-alih informasi yang akurat, ilwuwan yang mengabdi pada program politik dan ekonomi tertentu dengan mengabaikan nilai-nilai etika fundamental; serta pimpinan-pimpinan agama yang melecehkan agama lain sembari mengkhotbahkan fanatisme dan intoleransi alih-alih membangun saling pengertian, respek, dan toleransi. Kita harus melawan semua bentuk kemunafikan dan demagogi; dusta dan kebohongan. Untuk itulah kita harus meyakini kembali perintah lama ini: Jangan berbohong; atau dalam ungkapan positifnya: Berkatalah benar!
Tidak ada orang, institusi, bahkan negera yang berhak membohongi orang lain dengan alasan apapun. Secara khusus, hal ini benar untuk media. Mereka memang memiliki kebebasan pers, tetapi mereka tidak berada di atas moralitas dan nilai-nilai etika fundamental. Mereka tidak berhak mengganggu kehidupan pribadi orang, memanipulasi pendapat umum, dan memelintir kenyataan. Seniman dan ilmuwan -- yang diberi kebebasan seni dan kebebasan mimbar -- juga tidak terkecualikan dari tuntutan etika umum. Mereka pun harus melayani kebenaran dengan tulus. Politisi yang berbohong kepada konstituennya tidak pantas dipilih ulang. Demikian juga pemimpin umat yang membangkitkan kebencian dan permusuhan terhadap agama lain tidak layak diikuti dan mempunyai pengikut.
Karena itu, alih-alih bersikap tidak jujur kita harus bersemangat dalam menegakkan kebenaran; alih-alih menyiarkan opini setengah benar kita harus mencari kebenaran dalam kemurnian dalam ketulusan; serta alih-alih mengejar oportunisme kehidupan kita harus melayani dengan penuh integritas dan kebenaran.
4.Membangun Budaya Persamaan Hak, Kemitraan Laki-laki dan Perempuan.
Bersama-sama, kita harus menghilangkan berbagai bentuk sistem patriarki yang tercela, dominasi gender, eksploitasi perempuan dan anak-anak, serta pelecehan seksual dan prostitusi. Untuk itulah kita harus meyakini kembali perintah lama ini: Jangan berzinah; atau ungkapan positifnya: Hormati dan kasihilah sesamamu!
Secara konkrit ini berarti bahwa tidak seorang pun berhak merendahkan martabat orang lain sebagai obyek seks semata, atau membuat mereka tergantung secara seksual. Eksploitasi seks harus dicela sebagai salah satu bentuk terburuk dari degradasi manusia. Jika -- atas nama keyakinan agama -- dominasi kelamin tertentu atas kelamin yang lain dikhotbahkan, pelecehan dan eksploitasi seksual serta prostitusi anak-anak dibiarkan, maka hal tersebut haruslah dikecam dengan keras.
Karena itu, anak-anak dan orang muda harus diajar sejak dini bahwa seksualitas bukan hal yang negatif tetapi sebuah daya insani yang kreatif. Hubungan laki-laki dan perempuan memang mempunyai dimensi seksual tetapi pemenuhan jati diri kemanusiaannya tidak identik dengan pemuasan seksual. Seksualitas haruslah merupakan ekspresi dan peneguhan kasih sayang dalam sebuah hubungan kemitraan hidup. Di fihak lain, tradisi relegius tertentu yang mengenal pertarakan sukarela, dapat juga merupakan ekspresi identitas dan pemenuhan jati diri kehidupan yang bermakna. Perkawinan sebagai institusi sosial -- dengan semua variasi kultural dan religius yang ada -- harus dicirikan oleh kasih sayang, kesetiaan dan permanensi. Perkawinan seyogianya bertujuan untuk -- dan harus dijamin bagi -- terciptanya rasa aman dan saling mendukung antara suami, isteri, dan anak-anak beserta semua hak-hak mereka. Untuk itu semua negeri dan budaya harus membangun tata ekonomi dan sosial dimana perkawinan dan keluarga memang layak untuk manusia, dan khususnya untuk orang-orang tua. Orangtua tidak boleh mengeksploitasi anak-anaknya, demikian juga anak-anak terhadap orangtuanya; tetapi hubungan kekeluargaan tersebut harus penuh dengan sikap saling menghormati, menghargai dan mempedulikan.
Etika Global dan moralitas umum adalah fundamen bagi penyelesaian berbagai masalah nasional dan global termasuk masalah lingkungan hidup, yang di atasnya solusi-solusi lain seperti ekonomi, politik, dan sosio-budaya dilandaskan. Masalah lingkungan hidup termasuk restorasi lingkungan yang terlanjur rusak merupakan bagian integral dari masalah bersama di berbagai bidang. Selain itu, solusi yang kita kerjakan, meskipun sebuah tindakan lokal, harus kita fahami dalam kerangka kesadaran global sehingga efek penyelesaiannya diharapkan dapat berskala global juga. Abad ke-21 lebih memberikan optimisme karena semua agama dan keyakinan ternyata dapat bersatu padu mengatasi masalah bersama karena pada wilayah etik-fundamental ternyata mereka memiliki nilai-nilai bersama yang dapat dipakai secara operasional.
III. Zaman Edan, Etika Lama, dan Etos Baru
Pada dua pasal sebelumnya telah dibahas sentralitas etika dalam kehidupan baik pada skala personal, organisasional, sosial, dan global. Tanpa etika tidak ada solusi yang mungkin kita implementasikan. Sudah disepakati pula niscayanya Etika Global untuk menyelesaikan masalah-masalah global.
Namun berbicara tentang konsep etika semacam itu menurut saya relatif gampang. Yang paling sulit ialah bagaimana membuat etika tersebut menjadi etos. Bagaimana membuat teori menjadi kenyataan. Atau sebaliknya, masalah terbesar dalam wacana etika ialah bagaimana membuat etika menjadi sebuah praktik kehidupan, menjadi kode etik yang ditaati, sehingga menjadi spiritualitas pribadi dan etos sosial dalam masyarakat.
Jika tidak maka yang terjadi adalah kesenjangan. Dan kesenjangan antara apa yang seharusnya dengan apa yang ternyata di lapangan kerapkali sungguh tidak senonoh, sungguh amat edan. Masa dimana etika benar-benar dilecehkan dalam bahasa kultural disebut zaman edan. Dalam kronik budaya Jawa menurut Ronggowarsito, sesuai tafsiran Permadi SH, penghujung abad ke-20 memang disebut Zaman Edan. Intinya, pada Zaman Edan, semua norma terbalik atau dibalikkan. Dan jika orang tidak bersedia ikut edan maka dia tidak akan kebagian.
Analog dengan edan Ronggowarsito, saya mendeskripsikan zaman edan dalam konteks Indonesia kini. Pancasila sebagai sebuah masterpiece kebudayaan yang seharusnya mampu menjadi pedoman dan fondasi tegaknya negara-bangsa Indonesia yang maju dan beradab, di zaman edan ini, telah dibalikkan 180 derajat. Maka terjadilah keedanan nasional yang menjadi sumber bencana bagi negeri ini yang saya lukiskan secara satirik berikut ini:
Edan 1: Alih-alih Ketuhanan yang Maha Esa, nyatanya keuanganlah yang sangat berkuasa.
Edan 2: Alih-alih Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, nyatanya kekuasaanlah yang menentukan apa yang adil dan beradab.
Edan 3: Alih-alih Persatuan Indonesia, nyatanya yang terjadi persatuan konglomerat dan pejabat jahat untuk saling memperkaya.
Edan 4: Alih-alih Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, nyatanya hutan-hutan kita semakin habis disikat para penjahat lingkungan.
Edan 5: Alih-alih Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, nyatanya kelaliman sosial dialami banyak anak bangsa kita.
Dan keedanan pun telah merasuki dunia kerja, baik bisnis maupun birokrasi. Dengan rasa getir kita amati berkuasanya budaya kerja edan berikut ini:
Edan 1: Alih-alih bekerja tulus penuh rasa syukur, nyatanya orang lebih suka bekerja dengan rasa enggan sambil bersungut-sungut karena berpendapat “gaji kita kecil sih”.
Edan 2: Alih-alih bekerja benar penuh tanggungjawab, nyatanya orang lebih suka bekerja demi uang semata dengan menghalalkan segala cara dengan motto “business is business”.
Edan 3: Alih-alih bekerja tuntas penuh integritas, nyatanya orang lebih suka mencela orang idealis sebagai orang bodoh seraya bekerja pinter-pinter dengan pedoman “yang penting selamat”.
Edan 4: Alih-alih bekerja keras penuh semangat, nyatanya orang lebih suka bekerja ala kadarnya dengan prinsip “takkan lari gunung dikejar”.
Edan 5: Alih-alih bekerja serius penuh kecintaan, nyatanya orang lebih suka bekerja dengan rutinitas penuh rasa bosan dan di akhir minggu berseru “thank God it.’s Friday”.
Edan 6: Alih-alih bekerja inovatif penuh kreativitas, nyatanya orang lebih suka bekerja seenak perutnya dengan semboyan “kita kan bukan pemilik”.
Edan 7: Alih-alih bekerja unggul penuh ketekunan, nyatanya orang lebih suka bekerja seenak perutnya dengan semboyan “peduli amat, emangnya gue pikirin”.
Edan 8: Alih-alih bekerja sempurna penuh kerendahan hati, nyatanya orang lebih suka bekerja semau gue dengan gaya “ah mau apa lagi, begini aja kan udah bagus”.
Dengan "panca edan" dan "delapan budaya kerja edan" di atas, buah apakah yang kita tuai? Tak bisa lain: bencana nasional! Dari Aceh sampai Ambon, dari Poso sampai Ketapang, ditambah dengan setumpuk bank bangkrut, utang bangsa ribuan trilyun, dan sejuta kemarahan dalam anarki dan penjarahan yang membawa perpecahan dan disintegrasi.
Problem nasional kita telah sedemikian parah dan ruwet. Susah dicari ujung pangkalnya. Perhatikan misalnya kenyataan-kenyataan berikut ini:
1.masalah ekonomi tidak mampu lagi diselesaikan oleh para ekonom;
2.masalah politik tidak mampu lagi diselesaikan oleh para politikus;
3.masalah keamanan tidak mampu lagi diselesaikan oleh para polisi;
4.masalah lingkungan tidak mampu lagi diselesaikan oleh para pakar lingkungan;
5.masalah teknologi tidak mampu lagi diselesaikan oleh para teknolog;
6.masalah negara tidak mampu lagi diselesaikan oleh para negarawan;
7.masalah hukum tidak mampu lagi diselesaikan oleh para pakar hukum;
8.masalah pendidikan tidak mampu lagi diselesaikan oleh para guru.
Ini sungguh edan! Dengan sinis, pakar diplesetkan orang menjadi "apa-apa sukar", dan rakyat bertambah bingung. Makin banyak pakar bicara, makin edan rasanya. Jangankan rakyat jelata, kaum terdidik pun ikut bingung. Rakyat lalu bertanya, buat apa pakar-pakar dengan gelar berderet-deret itu dicetak? Bukankah mereka yang bikin runyam negara ini adalah kaum bergelar? Sudah tidak becus menyelesaikan masalah, masih bangga pula memakai gelar-gelar mentereng. Kalau ada rasa malu, sudah saatnya gelar-gelar itu disimpan saja di laci. Lebih baik uang sekolah mereka dibelikan orkes saja sehingga rakyat bisa main dangdut sampai puas. Miskin tapi hati senang. Daripada miskin dengan hati susah.
Tetapi mengapa bangsa kita edan?
Sebuah jawaban diberikan oleh Fritjof Capra, fisikawan kelas dunia yang juga seorang mistikus. Menurutnya, krisis dewasa ini dapat ditelusuri akar-akarnya sejak abad ke-17 lampau. Selama tiga abad ini, peradaban global kita dibangun dengan terutama bertumpu pada empat pilar utama kebudayaan modern, yaitu:
1.Motivasi untuk mengeksplorasi dan mengekploitasi alam untuk memenuhi kebutuhan manusia yang ternyata tidak ada batasnya yang dicirikan oleh agresivitas, kompetisi, ekspansi, aneksasi, kolonialisme, penaklukan, dan penguasaan;
2.Sistem patriarkal yang mensubordinasikan perempuan dan kaum minoritas yang dicirikan oleh chauvinisme laki-laki, dominasi, penyeragaman, metoda kekerasan dalam penyelesaian masalah, termasuk militerisme, premanisme, imperialisme dan fasisme;
3.Berkuasanya sistem nilai inderawi atas sistem nilai idealistik yang dicirikan oleh pemujaan terhadap uang, harta, materi, dan hedonisme;
4.Model berpikir rasional-mekanistik warisan Descartes dan Newton yang menjadi dasar perkembangan masyarakat industri berbasis teknologi yang dicirikan oleh industrialisasi, mekanisasi, urbanisasi, dan pemujaan berlebihan pada sains dan teknologi.
Empat pilar kebudayaan modern di atas telah merasuki secara mendalam semua tatanan ideo-politikal, sosio-kultural, bisnis-ekonomikal, tekno-industrial, serta bio-ekologikal kita. Empat pilar di atas kemudian mendominasi, makin lama makin kuat, sehingga semakin tidak seimbang terhadap:
1.Kekuatan yang memelihara kelestarian dan kesehatan bumi;
2.Kekayaan hidup dalam potensi keperempuanan dan kemajemukan;
3.Keindahan perasaan yang diperoleh dari sistem nilai batiniah yang ideal;
4.Keutuhan perspektif dari model berpikir mistis-intuitif.
Akibatnya, menurut Capra, kita merasakan kekacauan dalam pikiran dan perasaan kita, kekaburan dalam sistem nilai dan sikap budaya kita, serta kepincangan dalam struktur sosial dan politik kita. Akibat lanjutannya, krisis di berbagai bidang yang membawa kita pada perpecahan, kebencian, ketidakharmonisan, pertengkaran, konflik, dan jurang disintegrasi. Damai sejahtera hilang, kerukunan lenyap, dan kesatuan serta kohesi sosial pecah.
Karena itu, jika kita hendak terbebas dari arus keedanan masa kini, maka kita harus mengambil langkah-langkah penyeimbangan kehidupan kita secara luas. Saya mengidentifikasi peyeimbangan tersebut harus meliputi sektor-sektor berikut ini:
1.Dari keinginan pemuasan diri ke arah pengendalian diri.
2.Dari modus eksploitasi ke arah modus konservasi.
3.Dari semangat kompetisi ke arah semangat kerjasama.
4.Dari semangat ekspansi-aneksasi ke arah semangat konsolidasi-integrasi.
5.Dari keinginan kuat mengontrol-mendominasi ke arah pemberdayaan-desentralisasi.
6.Dari modus koersi-intimidasi ke arah persuasi-negosiasi.
7.Dari dominasi budaya militerisme ke arah penguatan masyarakat sipil.
8.Dari pemujaan harta dan materi ke arah pendalaman humaniora dan spiritualitas.
9.Dari filsafat pragmatisme ke arah filsafat idealisme.
10.Dari gaya hidup hedonistik ke arah gaya hidup bersahaja.
Semua pergeseran di atas adalah pergeseran nilai-nilai. Artinya, pada tingkat personal, etos kehidupan kita memang harus bergeser ke arah yang lebih sehat. Sedangkan, pada tingkat sosial, pergeseran nilai-nilai ini tidak lain adalah transformasi budaya. Arus utama transformasi budaya kita pada milenium baru ke depan akan terjadi pada sejumlah wacana dan gerakan yang kian lama kian populer, meliputi:
1.Demokratisasi politik dan ekonomi
2.Penegakan hak-hak asasi manusia
3.Pelestarian lingkungan hidup
4.Pemberdayaan dan otonomi
5.Apresiasi kemajemukan sosial-budaya
6.Emansipasi perempuan dan kelompok-kelompok minoritas.
Selanjutnya, untuk mencapai kesetimbangan baru di atas diperlukan tiga hal yang serentak harus diambil. Pertama, pergeseran paradigma global kehidupan kita (global paradigm shift). Caranya ialah dengan memperluas wawasan kita, baik spektrumnya secara melebar maupun intensitasnya secara mendalam. Secara khusus, kita harus meninggalkan spesialisasi sempit dan picik. Kita harus lebih multidisipliner tanpa kehilangan kualitas. Kita harus belajar secara meluas dan melebar, tetapi juga harus mendalam dan meninggi. Wawasan luas dan mendalam akan membawa kita pada holisme (keutuhan dan integritas) yang akan membebaskan kita dari fanatisme, kepicikan, parokialisme, sektarianisme, dan ketidakseimbangan.
Kedua, kita harus mampu menyelenggarakan transformasi di atas secara non-kekerasan baik pada level organisasional maupun sosial. Kata kuncinya adalah mengelola perubahan (change management) secara damai. Kita harus menjauhi metoda Lenin yang ingin mencapai keadaan baru melalui penjungkirbalikan dengan kekerasan. Jadi, bukan revolusi tetapi metamorfosa, bukan Marx tetapi Gandhi, bukan Lenin tetapi Martin Luther King, bukan Polpot tetapi Nelson Mandela. Bagai ulat dalam kepompong yang metamorf menjadi kupu-kupu semua harus berlangsung tanpa kekerasan, non-violence, peaceful, tetapi berubah secara kualitatif.
Ketiga, kita harus menata ulang etos kehidupan secara luas dan mengubah etos kerja kita secara sungguh-sungguh agar diperoleh hasil-hasil yang baik, benar, dan berkelanjutan.
Sekali lagi, kita harus berubah. Edan, menurut sebuah definisi adalah doing the same thing again-and-again and expecting different result. Artinya, orang disebut edan jika berharap mencapai keadan baru tetapi masih mengerjakan hal-hal lama dengan cara-cara lama. Orang yang ingin langsing tetapi tetap makan banyak disebut edan. Orang yang ingin kaya tetapi doyan main judi dan foya-foya disebut edan. Orang yang ingin pintar tetapi memelihara kebiasaan tidur ala Si Kabayan disebut edan. Jadi jika kita tidak ingin disebut edan, etos kerja kita harus diubah dan harus ditata ulang secara radikal.
IV. Etos Kerja dan Kemakmuran Ekonomi Bangsa
Limapuluh lima tahun lampau Jerman dan Jepang kalah telak dan luluh lantak pada Perang Dunia II. Tetapi kini Jerman dan Jepang masing-masing menjadi bangsa paling maju di Eropa dan Asia. Mengapa bisa? Jawabnya ditemukan di wilayah moral. Tepatnya, etos dan budaya kerja mereka tidak ikut hancur. Yang hancur cuma gedung, jalan, dan infrastruktur fisik lainnya. Tetapi the spirit within their heart tetap utuh. Dalam hal inilah kita perlu belajar dari kedua bangsa itu. Menurut Max Weber, intisari etos hidup dan budaya kerja (work ethic) orang Jerman dapat disarikan sebagai berikut:
1.Bertindak rasional.
2.Berdisiplin tinggi.
3.Bekerja keras.
4.Berorientasi pada kesuksesan material.
5.Hemat dan bersahaja
6.Tidak mengumbar kesenangan.
7.Menabung dan berinvestasi.
Tidak sulit memahami mengapa etos hidup dan budaya kerja di atas telah menjadi fondasi keberhasilan dan kemakmuran bangsa Jerman dalam bidang ekonomi dan teknologi.
Di Timur, orang Jepang menghayati Etos Bushido (etos para samurai = the way of the samurai) yang bersumber dari perpaduan Shintoisme dan Zen Budhism yang kemudian merupakan karakter dasar dari budaya kerja bangsa Jepang. Etos Bushido tersebut terdiri dari tujuh prinsip sebagai berikut:
1.Gi: Keputusan yang benar diambil dengan sikap yang benar berdasarkan kebenaran; jika harus mati demi keputusan itu, matilah dengan gagah, sebab kematian yang demikian adalah kematian yang terhormat.
2.Yu: Berani dan bersikap kesatria.
3.Jin: Murah hati, mencintai dan bersikap baik terhadap sesama.
4.Re: Bersikap santun; bertindak benar.
5.Makoto: Bersikap tulus yang setulus-tulusnya; bersikap sungguh yang sesungguh-sungguhnya; tanpa pamrih.
6.Melyo: Menjaga kehormatan, martabat dan kemuliaan.
7.Chugo: Mengabdi dan loyal.
Kiranya juga jelas bahwa kemajuan bangsa Jepang dalam kancah perekonomian dunia dapat dipahami sebagai akibat logis dari etos kerja di atas. Manajemen Jepang yang dikenal dengan nama TQM, jika diperiksa secara saksama, memang hanya mungkin berhasil jika didukung oleh etos kerja Jepang di atas, atau paling tidak yang setara dengannya.
Berkaitan dengan ini, secara sempit saya menduga keras bahwa kegagalan TQM di banyak organisasi di Indonesia, bukan karena konsepnya terlalu sulit untuk dipahami, bukan pula karena terlalu teknis, tetapi karena orang Indonesia tidak memiliki etos kerja yang dibutuhkan oleh sistem manajemen tersebut.
Karena itu sangat kuatlah alasan bagi setiap pemimpin di segala tingkat untuk sungguh-sungguh mengembangkan etos kerja bagi SDM organisasinya. Tanpa etos kerja yang sesuai, maka keberhasilan yang mereka cita-citakan hanyalah impian di siang bolong. Artinya mereka tetap edan dan zaman edan yang lain akan masih harus dialami.
Selanjutnya, saya ingin membatasi diri untuk memaparkan Delapan Etos Kerja Baru yang kami gagas di Institut Darma Mahardika. Secara fundamental saya yakin etos ini mampu berfungsi sebagai penawar racun zaman edan, khususnya di dunia kerja termasuk bisnis. Etos ini saya sebut juga sebagai Etos Kerja Profesional. Nama lain yang saya berikan adalah Ethos21, artinya etos kerja baru untuk masyarakat Indonesia baru abad 21.
Etos 1: Kerja adalah Rahmat; Aku Bekerja Tulus Penuh Syukur
Rahmat adalah pemberian baik yang kita terima bukan karena jasa kita, tetapi karena kebaikan sang pemberi. Jadi, respons yang tepat hanyalah bersyukur dan berterimakasih.
Kerja pun adalah rahmat, jadi harus disyukuri karena dua alasan. Pertama, kerja itu sendiri secara hakiki adalah rahmat Tuhan. Lewat pekerjaan, Dia memelihara kita. Kedua, di samping upah finansial kita juga menerima banyak sekali faktor plus dari pekerjaan, misalnya kesempatan belajar, mengunjungi negeri asing, membina hubungan dengan banyak orang dan sebagainya. Faktor-faktor plus ini pun adalah rahmat juga.
Karena itu kita harus bekerja dengan hati yang bersih dan tulus. Bekerja tidak boleh bersungut-sungut, mengeluh, dan setengah hati karena bekerja adalah bentuk terima kasih kita pada Tuhan, pada negara, pada pemilik modal, dan pada manajemen. Kita sudah terlebih dahulu menerima dengan limpah, maka kita pun harus membalasnya dengan limpah pula.
Menyadari bahwa rahmat atau anugerah selalu melimpah untuk kita, maka kita pun akan terimbas untuk bermental limpah terhadap sekeliling kita sehingga lama-kelamaan akan membentuk karakter limpah (abundance character) dalam diri kita. Penampakannya bermacam-macam, antara lain: senang menolong orang; tidak pelit; tidak takut kekurangan; selalu merasa ada alternatif lain di samping alternatif yang kasat mata; mampu memberi dulu, kemudian menerima; bersedia menabur dulu, kemudian menuai; selalu bersikap memberi dan menawarkan pada sekeliling; serta selalu berpikir untuk berkontribusi.
Orang yang memiliki karakter limpah, memang memiliki jiwa besar karena ia selalu sadar bahwa Sang Maha Pemberi selalu memberi rahmat dengan limpah. Dengan jiwa besar, hati penuh syukur, dan karakter limpah ini, maka dia akan selalu diliputi sukacita dan rasa bahagia. Sukacita kerja ini akan membuatnya produktif, bebas dari stres negatif, sehingga ia selalu mampu menjadi aktor positif dalam menciptakan suasana kerja yang gembira dan menyenangkan. Di mana pun ia selalu menjadi protagonis, bukan antagonis.
Etos 2: Kerja adalah Amanah; Aku Bekerja Benar Penuh Integritas
Amanah adalah titipan berharga yang dipercayakan pada kita. Melalui kerja kita menerima amanah bahkan kerja itu sendiri adalah sebuah amanah. Jadi kerja sebagai amanah wajib kita selesaikan hingga tuntas.
Pemilik modal menitipkan usahanya pada kita. Begitu pula manajemen mempercayakan pelaksanaan tugas-tugas khusus, pelanggan mengandalkan kontinuitas pasokannya, dan pemasok mempercayakan barangnya dengan pembayaran di belakang.
Keluarga juga menitipkan amanah agar kita membawa nafkah halal melalui pekerjaan yang halal. Sebagian orang menerima tugas pekerjaannya sebagai amanah langsung dari negara, bangsa, bahkan dari Tuhan. Pendeknya, banyak kebutuhan pihak lain, para konstituen kita, dipercayakan pada kita. Konsekuensi moralnya, kita dituntut melaksanakan amanah tersebut dengan benar. Tidak boleh dikorup, dikurangi atau dicuri. Kejujuran dan integritas dengan demikian sangat pokok dalam pelaksanaan amanah yang baik.
Sebagai pemegang amanah (trust holder) kita dianggap orang terpercaya dan kompeten dalam pelaksanaan amanah tersebut sampai sukses. Konsekuensi logisnya kita harus bekerja dengan terencana dan rencana kerja itu kita harus dikerjakan selesai. Kita tidak boleh menunda-nunda pekerjaan melainkan harus merampungkannya sampai betul-betul beres dan benar.
Jika kita mampu bekerja dengan penghayatan sebagai seorang pengemban amanah, maka secara internal, ahlak terpercaya (integrity, trustworthy) semakin menguat dalam diri kita. Di pihak lain, sepasang ahlak ini menjadi jaminan kesuksesan pelaksanaan amanah itu sendiri. Dalam kondisi ini kita akan berada dalam modus melakukan pekerjaan benar (bukan pekerjaan haram), dengan tujuan yang benar, dengan sikap yang benar, dengan metoda yang benar, serta menggunakan data dan informasi yang benar pula. Kondisi ini niscaya membuahkan sukses.
Secara empirik, kita selalu melihat bahwa orang yang sukses mengemban amanah kecil akan mendapat kepercayaan mengemban amanah lebih besar. Lagi-lagi karakter terpercaya dan bertanggungjawab tampil sebagai modal penting untuk sukses. Boleh dikatakan, di atas kedua karakter inilah dibangun prestasi kerja kita yang pada gilirannya membuat kita dihargai orang lain. Di sini, kita memperoleh harga diri yang sehat dan rasa bangga yang benar.
Etos 3: Kerja adalah Panggilan Suci; Aku Bekerja Tuntas Penuh Tanggungjawab
Suci, menurut Kamus Webster, berarti diabdikan, diuntukkan atau diorientasikan pada Yang Suci. Kerja itu suci berarti kerja disadari sebagai aktivitas kehidupan yang mengabdi dan berorientasi pada Yang Suci, dalam hal ini kepada Tuhan dengan segenap atribut-Nya, terutama kebenaran, keadilan, dan kebaikan.
Penghayatan kerja semacam ini hanya mungkin terjadi jika seseorang merasa dipanggil oleh Tuhan untuk melakukan tugas tersebut. Rasa keterpanggilan di sini tidak berarti selalu berasal dari Tuhan, tetapi dapat juga berasal dari idealisme atau atribut ketuhanan yang mengandung nilai kebenaran, keadilan, dan kebaikan dalam berbagai wacana seperti agama atau negara. Panglima ABRI, Jenderal Wiranto misalnya pernah berkata, "ABRI merasa terpanggil untuk turut berperan mengembangkan dan membangun bangsa menuju masyarakat madani yang demokratik." Pada umumnya idealisme seperti kemanusiaan, perdamaian, kesejahteraan, keadilan sosial, kedaulatan rekyat, dan demokrasi selalu memanggil manusia untuk berbuat sesuatu.
Dengan kesadaran bahwa kerja adalah sebuah panggilan suci maka terbitlah perasaan benar, feeling right, dalam hati kita. Perasaan benar ini menciptakan rasa mantap yang pada gilirannya menimbulkan motivasi kerja yang kuat. Secara psikis, menuaikan kerja sebagai sebuah panggilan akan membangun karakter bertanggungjawab dalam diri kita.
Sedangkan secara eksternal, kita akan dilihat orang sebagai terpercaya, sehingga kita diandalkan oleh para konstituen kita. Kita tahu, hal dipercaya adalah sebuah modal sosial (social capital) untuk sukses. Kita juga sudah melihat, tanpa kepercayaan tidak mungkin terjadi transaksi jenis apa pun, baik yang bersifat finansial-moneter, emosional-intelektual, maupun sosial-kultural. Hal ini benar untuk level mikro, benar juga secara makro.
Etos 4: Kerja adalah Aktualisasi; Aku Bekerja Keras Penuh Semangat
Kerja itu sehat maksudnya bekerja membuat tubuh, roh, dan jiwa kita menjadi sehat. Dengan pekerjaan kita mengaktualisasikan diri kita. Aktualisasi berarti membuat sebuah potensi menjadi nyata, menjadi aktual. Misalnya gunung yang mengandung bijih emas disebut memendam potensi kekayaan. Aktualisasi berarti bekerja menambang emas tersebut, sampai diperoleh batangan emas yang bisa dijual secara komersial.
Manusia pun bagaikan gunung yang mengandung potensi bio-psiko-spiritual yang luar biasa yang menunggu untuk digali dan dikembangkan. Potensi ini adalah anugerah Tuhan, sama seperti biji emas di perut gunung tadi adalah anugerah Tuhan. Anthony Robbins menyebut potensi insani ini sebagai The Sleeping Giant (raksasa tidur), sedangkan Denis Waitley menyebutnya Seed of Greatness (benih keagungan). Ini sangat inspiratif, karena mengingatkan kita bahwa manusia bisa tumbuh menjadi pribadi besar dengan karya-karya agung yang ditopang oleh karakter kuat dan bakat yang terasah.
Aktualisasi atau penggalian potensi insani ini terlaksana melalui pekerjaaan karena kerja adalah pengerahan energi bio-psiko-spiritual. Akibatnya kita menjadi kuat yang juga berarti bermakna sehat lahir batin. Kita tahu, otot hanya berkembang dan menjadi kuat jika dipakai atau dibebani secara optimal. Begitu juga jiwa dan rohani kita. Maka agar pengembangan itu maksimal, kita harus bekerja keras. Boleh dikata, bekerja adalah metoda pengembangan diri yang sejati.
Pada saat yang sama, proses itu mengubah inner potential kita menjadi real personal power dalam bentuk kompetensi, keahlian, dan berbagai pengetahuan aplikatif. Dan kompetensi ini terbentuk semakin tajam dan kuat apabila kita bekerja secara konsisten dari hari ke hari. Etos kerja seperti inilah yang menjadi basis produktivitas kerja pribadi yang andal.
Kemudian secara eksternal, produktivitas tinggi berdasarkan kompetensi kerja yang matang, menjadi andalan yang aman bagi mitra kita untuk bekerjasama secara sinergistis. Bila itu terjadi, dengan mudah dapat dirancang suatu sistem kerja yang efektif dan efisien dalam suatu tata hubungan yang bersifat win-win dan langgeng.
Etos 5: Kerja adalah Ibadah; Aku Bekerja Serius Penuh Pengabdian
Sudah umum dipahami orang bahwa kerja adalah ibadah. Rupanya Tuhan mewajibkan manusia untuk beribadah di dua tempat. Pertama, di gedung peribadatan seperti masjid, gereja, atau pura. Dan kedua, di tempat kerja. Bentuk ibadah pertama adalah ritual sembahyang sedangkan ibadah kedua adalah olah kerja yang diabdikan pada Tuhan.
Semua agama mengajarkan agar manusia berbuat kebaikan sebesar-besarnya, dan menjauhi kemungkaran sebisa-bisanya. Yang pertama berati turut berkarya membangun hal-hal yang baik, benar, adil, dan ideal. Sedangkan yang kedua berarti menghindari apa saja yang merusak, negatif, atau kurang dari yang seharusnya.
Kerja memang merupakan lapangan untuk secara konkrit melaksanakan hal-hal kebajikan di atas, misalnya untuk kejayaan negara, pembangunan bangsa, penegakan demokrasi, penciptaan masyarakat madani, pemuliaan martabat manusia, pelestarian lingkungan hidup, penegakan keadilan, promosi perdamaian, peningkatan kemakmuran, memajukan agama, atau idealisme besar lainnya, termasuk pada Tuhan secara langsung. Karena itu kita memang layak mengabdikan diri melalui pekerjaan kita.
Sikap pengabdian yang tepat harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan serius. Ini penting karena pengabdian selalu meminta kesediaan berkorban. Akan tetapi pengorbanan untuk sebuah idealisme agung adalah juga kebahagiaan jika dimotivasi oleh rasa cinta. Tatkala kita mencintai pekerjaan kita, di sanalah kita menemukan makna kehidupan yang berharga sehingga hidup ini layak dihidupi.
Dengan sikap pengabdian, maka secara internal akan terbentuk karakter kesungguhan-sungguhan. Orang Jepang menyebutnya makoto, yang bermakna sungguh sesungguh-sungguhnya, tanpa kepura-puraan, benar-benar asli.
Sikap kerja seperti ini memampukan kita untuk mengatasi masalah apa saja dalam pekerjaan kita dengan tenang, realistik, dan mantap. Sekaligus kesadaran bahwa kita sedang mengabdi pada yang agung membuat kita mampu menerima kekuatan hati dari keagungan itu. Kita kemudian berada dalam suatu loving devotion atau loving dedication kepada nilai-nilai luhur di balik pekerjaan kita itu.
Secara eksternal, kita akan dihormati orang secara sungguh-sungguh pula. Ini adalah spirit keberhasilan yang dijiwai oleh cinta kasih yang memberikan apa saja yang terbaik, terindah, terelok atau termulia.
Etos 6: Kerja adalah Seni; Aku Bekerja Kreatif Penuh Sukacita
Apa pun yang Anda kerjakan, di dalamnya pasti mengandung unsur-unsur indah, teratur, harmoni, atau simetri. Artinya pekerjaan, sebagian atau seluruhnya, adalah juga aktivitas seni.
Seperti galibnya seni, kerja adalah aktivitas artistik yang mendatangkan kesukaan. Kita mendapatkan sukacita itu dari aktivitas-aktivitas kreatif, eksploratif atau interaktif. Sukacita ini bertambah pula karena adanya suasana penuh tantangan yang memungkinkan terjadinya sense of accomplishment. Kerja yang demikian ini menuntut penggunaaan potensi kreatif dalam diri kita baik untuk menyelesaikan masalah-masalah kerja yang timbul maupun untuk menggagas hal-hal yang baru. Potensi kreatif yang sama juga dituntut dalam upaya peningkatan mutu pekerjaan kita dalam semua aspek.
Orang yang bekerja dalam modus seni ini, menikmati kesukaan seperti anak kecil yang menemukan mainannya. Dalam pekerjaan seperti ini kita dapat tenggelam dalam keasyikan yang positif dan kreatif secara total.
Pada saat yang sama aktivitas ini memperkuat karakter vitalitas dalam diri kita, yaitu semangat hidup yang menyala nyala di dalam jiwa kita. Kerja yang dilakoni dengan penuh kesukaan akan membuat kita dipenuhi oleh daya cipta, kreasi-kreasi baru, dan gagasan-gagasan inovatif. Dan jika kita dapat melakukannya secara kontinu maka sajian nilai kerja kita akan benar-benar unik dan signifikan dibandingkan dengan pesaing-pesaing kita.
Hasil eksternalnya, kita akan dikagumi oleh orang lain. Bukankah kita selalu kagum pada para seniman yang mencipta dengan orisinil? Bukankah kita juga selalu kagum melihat pameran produk-produk baru yang inovatif? Memang benar, karya kreatif, produk inovatif, dan pagelaran artistik selalu mengagumkan hati kita karena mereka manyapa jiwa kita yang juga kreatif dan artistik. Seolah terjadi resonansi. Memang rupanya Tuhan menciptakan manusia ketika hati-Nya sedang senang, dan sesudah kita diciptakan-Nya Dia bertambah senang melihat kita bisa bekerja mencontoh Dia Sang Maha Kreatif. Blue print eksistensi kita sesungguhnya penuh dengan potensi kreatif dan artistik. Dan dia menunggu untuk direalisasikan melalui pekerjaan kita.
Etos 7: Kerja adalah Kehormatan; Aku Bekerja Unggul Penuh Ketekunan
Kerja itu kehormatan dan karenanya kita wajib menjaga kehormatan itu. Kerja sebagai kehormatan memiliki lima dimensi. Pertama, pemberi kerja menghormati kita dengan memilih kita sebagai penerima kerja. Kedua, kerja memberikan kesempatan pada kita untuk berkarya dengan kemampuan diri sendiri. Ini pun sebuah kehormatan. Ketiga, hasil karya yang baik memberikan kita rasa hormat diri pada kita. Keempat, pendapatan sebagai imbalan atas karya kita, memampukan kita mandiri sehingga tidak lagi menjadi tanggungan, parasit, atau beban bagi orang lain. Ini pun memberikan rasa hormat diri. Kelima, dengan pendapatan tersebut kita mulai ikut menanggung orang lain, termasuk istri, anak, orangtua, mertua dan lembaga-lembaga sosial yang kita santuni. Ini juga menambah kehormatan kita.
Maka respon kita yang tepat adalah menjaga kehormatan ini dengan bekerja sebaik-baiknya, bekerja secara maksimal untuk menampilkan mutu setinggi-tingginya, sehingga pemberi kehormatan itu -- apakah negara, pemilik usaha, manajemen atau pelanggan -- merasa puas atas hasil kerja kita.
Jika kita mendapat order dari pelanggan misalnya, sesungguhnya pelanggan memberikan kehormatan pada kita untuk melayani mereka. Jika kita dapat menjaga kehormatan ini dengan menampilkan mutu yang memuaskan, maka kehormatan berikutnya akan kita peroleh lagi. Sebaliknya, kehormatan itu akan dicabut jika kita bekerja asal-asalan. Kerja unggul untuk mutu tertinggi itulah kuncinya. Unggul di sini juga berarti the best of its kind, superior, excellent, baik luar biasa.
Dengan terjadinya mutu unggul di segala bidang, maka kita bisa menang dalam persaingan. Kita tahu, dunia ini masih sangat kekurangan akan produk-produk bermutu, manusia bermutu, manajer bermutu, guru bermutu, menteri bermutu, presiden bermutu, dan segala hal yang bermutu. Hanya dengan demikian kita selalu dibutuhkan oleh konstituen kita. Ini adalah kunci kualitas unggul yang menjadi landasan keberhasilan di tengah dunia yang penuh kompetisi.
Etos 8: Kerja adalah Pelayanan; Aku Bekerja Sempurna Penuh Kerendahan Hati
Secara moral, kemuliaan sejati datang dari pelayanan. Maka orang yang melayani adalah orang mulia. Kerja dan profesi yang melayani adalah kerja dan profesi mulia.
Semua pekerjaan adalah bentuk pelayanan nyata bagi konstituen kita yang sekaligus menegaskan dan meneguhkan eksistensi pekerjaan kita. Nilai pekerjaan kita disajikan secara riil bagi mereka yang memang harus kita layani baik secara fungsional maupun hirarkis. Output kerja kita menjadi input kerja bagi orang lain. Produk akhir kita menjadi bahan baku bagi orang lain. Pendeknya, kita menghasilkan nilai tambah yang memungkinkan pihak lain bekerja atau hidup dengan lebih mudah, lebih baik, lebih sejahtera, atau lebih makmur. Artinya, secara hakiki kita ada untuk orang lain. Nah, ini adalah kemuliaan. Kita tidak seperti hewan yang hanya hidup untuk dirinya sendiri. Manusia moral seperti kita seharusnya mampu proaktif memikirkan dan berbuat bagi orang lain, bagi masyarakat. Jadi patutlah kita bekerja dengan jiwa melayani.
Melayani adalah pekerjaan mulia. Perawat melayani orang sakit kita sebut orang mulia. Ibu Teresa melayani orang miskin dan terbuang, kita sebut Ibu berhati mulia. Ulama melayani umat kita sebut orang mulia. Menteri kabinet -- dalam bahasa Inggris minister adalah orang yang bertugas “to administer” berarti melayankan -- kita sebut jabatan mulia.
Menteri memang dipanggil untuk melayani rakyat dan negaranya. Tetapi sesungguhnya apa pun pekerjaan Anda, jika direnungkan, sesungguhnya eksis untuk melayani konstituen tertentu. Artinya pekerjaan Anda dapat disebut mulia.
Di pihak lain pekerjaan Anda harus Anda muliakan melalui pelayanan agar Anda pun menjadi manusia mulia, berhati mulia.
Ciri utama dari kemuliaan ialah karakter altruistik yang berarti tidak mementingkan diri sendiri. Lebih dari itu, altruisme berarti selalu aktif berbuat kebajikan pada orang lain.
Di tengah dunia yang semakin dikuasai materialisme dan hedonisme yang egoistik -- yang menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan dan kemasyarakatan kita -- betapa pentingya etos kerja melayani yang berporoskan sikap altruistik ini, bukan saja sebagai strategi sukses sejati, tetapi juga untuk memanusiakan manusia. Dunia ini, negeri ini, termasuk organisasi Anda, sangat mendambakan manusia berjiwa pelayan, berwatak altruistik.
No comments:
Post a Comment