Thursday

SISTEM PENGUPAHAN BERDASARKAN PRODUKTIVITAS


Oleh Prof. Dr. Payaman J. Simanjuntak, Ahli Peneliti Utama Ketenagakerjaan
Disampaikan pada: Seminar Etos ProGaji, Jakarta, 27 Januari 2010


Sistem pengupahan berdasarkan produktivitas adalah sistem pemberian upah kepada pekerja sesuai dengan produktivitas masing-masing pekerja atau kelompok pekerja dan kondisi perusahaan. Kondisi dan produktivitas perusahaan dipengaruhi oleh produktivitas masing-masing pekerja. Bila produktivitas masing-masing pekerja secara keseluruhan meningkat, maka produktivitas perusahaan akan meningkat pula. Bila produktivitas perusahaan meningkat, maka perusahaan patut meningkatkan upah. Dengan kata lain, pada saat kondisi perusahaan cerah, karyawan patut menerima upah tinggi. Sebaliknya pada saat perusahaan lesu karena produktivitas pekerja pada umumnya menurun, maka upah wajar diturunkan.

Sistem pengupahan berdasarkan produktivitas mulai dilaksanakan di Singapura ketika negara tersebut mengalami resesi tahun 1985-1986. Waktu itu para pengusaha dan pekerja dihadapkan pada dua pilihan sulit, yaitu pemberhentian atau pemutusah hubungan kerja (PHK) sebagian pekerja atau penurunan upah. Untuk mempertahankan pemberian upah yang sama, dunia usaha memperkirakan perlu memberhentikan sekitar 10% pekerja. Sebaliknya bila harus mempertahankan semua pekerja untuk tetap bekerja (tanpa PHK), maka upah perlu diturunkan sekitar 15%. Akhirnya para pekerja dan pengusaha sepakat memilih alternatif kedua, yaitu penurunan upah prorata 15%.

Pekerja pada umumnya sulit menerima penurunan upah. Demikian para pengusaha, biasanya tidak mudah memilih alternatif seperti itu. Para pengusaha lebih cenderung mengambil jalan pintas dengan langsung mengurangi pegawai atau pemutusan hubungan kerja (PHK). Akan tetapi melakukan PHK bukanlah soal mudah. PHK dapat menimbulkan masalah-masalah baru. Siapa yang akan di-PHK? Pengurangan pegawai otomatis akan mempengaruhi sistem kerja. Dalam mengadakan seleksi dan memilih siapa yang diberhentikan dan siapa yang dipertahankan tetap bekerja diperlukan kriteria tertentu. Selama menunggu keputusan pimpinan, seluruh pekerja resah dan bekerja secara tidak optimal. Mereka yang diberhentikan selalu merasa keputusan pimpinan perusahaan tidak adil dan dapat menimbulkan gejolak yang justru memperburuk kondisi perusahaan. Disamping itu, Pemerintah biasanya tidak senang dengan PHK karena akan menambah barisan pengangguran.

Bila pengusaha memperkirakan resesi bersifat sementara, pengusaha lebih senang mempertahankan pekerja. Tidak ada yang dikenakan pemutusan hubungan kerja. Tidak ada PHK, walaupun untuk itu pengusaha terpaksa menerima marjin keuntungan yang kecil. Para pekerja akan merasa tetap senang. Pada masa itu pengusaha biasanya melakukan strukturisasi, perbaikan alat-alat kerja dan sistem kerja, melatih sebagian pekerja, sehingga bila masa sulit berlalu, semua sistem telah siap untuk beroperasi secara optimal.

Namun bila kondisi perekonomian terus berfluktuasi, maka perlu menyusun sistem pengupahan yang bersifat fleksibel. Pada saat perusahaan memperoleh keuntungan besar, keuntungan itu dibagi dan dinikmati secara adil oleh pengusaha dan pekerja. Sebaliknya bila perusahaan mengalami kerugian, maka kerugian itupun haruslah ditanggung bersama oleh pengusaha dan seluruh pekerja dengan kesediaan menerima upah yang lebih kecil. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Tidak ada pekerja yang perlu diberhentikan. Senasib sepenanggungan. Inilah salah satu esensi dari prinsip kebersamaan dan kekeluargaan dalam Hubungan Industrial Pancasila. Dengan kata lain, sistem pengupahan disusun secara fleksibel disesuaikan dengan produktivitas pekerja dan kondisi perusahaan. Itulah sebabnya, pada awalnya di Singapur disebut Sistem Pengupahan Fleksibel (Flexible Wage System).

Sistem Pengupahan Fleksibel ini kemudian dikembangkan di Malaysia dan dikaitkan dengan produktivitas dan dsebut Sistem Pengupahan Berdasarkan Produktivitas (Productivity-Linked Wage System). Sistem pengupahan berdasarkan produktivitas terdiri dari dua kelompok komponen upah yaitu komponen upah tetap dan komponen upah variabel. Komponen upah tetap selalu diterima tanpa mempertimbangkan kondisi perusahaan. Upah variabel diberikan hanya bila produktivitas pekerja meningkat dan kondisi perusahaan baik. Besarnya upah variabel tergantung pada kondisi perusahaan dan produktivitas masing-masing pekerja.

Sistem pengupahan berdasarkan produktivitas atau productivity-linked wage system sebenarnya bukanlah konsep baru. Lebih dari 100 tahun yang lalu telah dikenal program bagi-keuntungan atau profit-sharing schemes. Kita juga mengenal program pembayaran kenaikan produktivitas atau productivity payment schemes atau improvement in productivity sharing.

Sistem pengupahan berdasarkan produktivitas dimaksudkan memberikan penghargaan kepada pekerja sesuai dengan prestasi dan peningkatan produktivitas mereka. Tujuannya adalah :

a. Mempertahankan pekerja tanpa PHK,
b. Menjamin perusahaan dapat tetap mempunyai daya saing, dengan secara fleksibel menyesuaikan diri dengan kondisi bisnis yang selalu berubah;
c. Menjamin keseimbangan biaya dan pendapatan perusahaan dengan mengaitkan pengeluaran dengan keuntungan perusahaan;
d. Meningkatkan motivasi kerja dengan mengaitkan penghargaan yang diterima dengan kinerja setiap pekerja.

1. Prinsip Sistem Pengupahan Berdasarkan Produktivitas

Dalam rangka menyusun dan melaksanakan sistem pengupahan berdasarkan produktivitas, setiap perusahaan harus mengikuti prinsip-prinsip berikut :

a. Upah harus mencerminkan nilai pekerjaan;
b. Komponen upah terdiri dari upah tetap dan upah variabel
c. Pertambahan produktivitas harus mendahului kenaikan upah;
d. Kenaikan upah didasarkan pada keuntungan perusahaan dan produktivitas kerja setiap individu;
e. Pemberian kenaikan upah tidak permanen atau terus-menerus;
f. Perlu pengukuran stabilitas penghasilan pekerja.

a. Upah Mencerminkan Nilai Pekerjaan

Supaya upah betul-betul mencerminkan nilai suatu pekerjaan, maka perusahaan yang bersangkutan harus memiliki program berikut.

Pertama, setiap perusahaan perlu melakukan analisis jabatan untuk menentukan nilai yang patut diberikan atas pelaksanaan masing-masing jabatan.

Kedua, setiap perusahaan perlu melakukan pencatatan kemampuan personil yang dimiliki, dikelompokkan menurut tingkatan kemampuannya.

Ketiga, setiap perusahaan perlu memiliki jalur peningkatan skala gaji yang memberikan petunjuk besarnya kenaikan gaji sebagai fungsi prestasi kerja dan senioritas.

b. Komponen Upah

Komponen upah terdiri dari komponen upah tetap (fixed component) dan upah variabel (variable component). Pada awalnya, Singapur memberlakukan komponen upah tetap 70% dan komponen upah variabel 30%. Kemudian komposisinya dibedakan menurut kelompok penghasilan pekerja. Bagi kelompok pekerja berpenghasilan rendah, komponen tetap 70% dan komponen variabel 30%. Bagi kelompok pekerja berpenghasilan menengah 60% dan 40% sementara bagi kelompok berpenghasilan tinggi 50% dan 50%.



















































Penghasilan Penghasilan Penghasilan
Rendah Menengah Tinggi



Gambar 1: Komponen Upah Tetap dan Variabel







c. Pertambahan Produktivitas Kemudian Upah

Peningkatan produktivitas harus diupayakan dulu baru dipertimbangkan untuk menaikkan upah. Untuk itu, perusahaan perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, perusahaan harus memiliki sistem pengukuran produktivitas dan dapat mengukur kenaikan produktivitas tersebut.

Kedua, perusahaan dapat menetapkan kenaikan upah tahun ini didasarkan pada, akan tetapi lebih kecil dari peningkatan produktivitas tahun yang lalu; atau

Ketiga, perusahaan menetapkan kenaikan upah tahun ini sebagai proporsi peningkatan produktivitas tahun yang lalu.

d. Kenaikan Upah dan Tingkat Keuntungan

Kenaikan upah harus didasarkan pada tingkat keuntungan perusahaan dan produktivitas kerja individu. Untuk itu perusahaan perlu melakukan ketentuan sebagai berikut :

Pertama, perusahaan perlu mendefinisikan tingkat keuntungan dan bagaimana keuntungan itu dihitung.

Kedua, juga perlu disusun program penghargaan prestasi dan kriteria serta cara mengukur produktivitas kerja individu.

Ketiga, perusahaan kemudian mendefinisikan dan menentukan cara pemberian penghargaan berdasarkan prestasi kerja.




e. Kenaikan Upah Tidak Permanen

Prinsip kenaikan upah secara tidak permanen dapat diikuti dengan melaksa-nakan petunjuk berikut ini.
Pertama, kenaikan upah secara fleksibel. Jangan sampai disetujui kenaikan upah bila perusahaan tidak sanggup membayarnya. Bila pada akhir tahun perusahaan ternyata mendapat keuntungan besar, maka dari keuntungan itu dapat diberikan penyesuaian secara lumsum atau bonus.

Kedua, pada saat tahun-tahun prospek baik, pengusaha perlu menahan diri untuk tidak terlalu royal menaikkan gaji.
Ketiga, lebih baik melakukan negosiasi pekerja dan pengusaha setiap tahun daripada menetapkan kenaikan upah untuk masa Perjanjian Kerja Bersama yang biasanya di Indonesia dua tahun.

f. Stabilitas Pendapatan Pekerja

Perlu dijaga kestabilan pendapatan pekerja dan untuk itu perlu pengukuran dan mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut :

Pertama, perlu disusun kebijakan jangka panjang mengenai pengadaan tenaga dan pengupahan, sehingga tidak perlu terjadi penambahan pegawai secara berlebihan atau pemberhentian pegawai secara tiba-tiba.

Kedua, perusahaan dapat melakukan kontrak kerja atau sub kontrak kerja untuk pekerjaan-pekerjaan tidak tetap atau musiman atau untuk pekerjaan yang bersifat tambahan kegiatan sementara.

2. Unsur-unsur Sistem Pengupahan Berdasarkan Produktivitas

Sistem pengupahan berdasarkan produktivitas terdiri dari tiga unsur penting yaitu unsur struktur upah, sistem pendukung dan faktor manusia. Ketiga unsur tersebut harus dipersiapkan dan disusun terlebih dahulu baru sistem pengupahan berdasarkan produktivitas dapat dilaksanakan. Kegagalan dalam mempersiapkan salah satu unsur tersebut dapat menggagalkan pelaksanaan sistem pengupahan berdasarkan produktivitas.

a. Struktur Upah

Struktur upah perlu dibagi atas dua kelompok, yaitu upah tetap dan upah variabel. Upah atau gaji tetap mencakup gaji pokok dan tunjangan tetap. Tunjangan tetap mencakup tunjangan yang harus diberikan tanpa mempertimbangkan kondisi keuntungan perusahaan, misalnya tunjangan transpor, tunjangan keluarga dan tunjangan jabatan. Upah atau gaji variabel merupakan imbalan atau penghargaan atas pencapaian target dan atau atas hasil peningkatan produktivitas. Setiap perusahaan perlu merumuskan komponen upah tetap dan upah variabel tersebut.

Dengan upah tetap, kebutuhan dasar atau kebutuhan hidup layak pekerja seogianya sudah terpenuhi. Dengan pemenuhan kebutuhan dasar, pekerja sudah dapat konsentrasi pada pelaksanaan tugas dan berupaya mencapai prestasi tertinggi, baik untuk mencapai penghargaan upah variabel yang sebesar-besarnya maupun untuk kepuasan dan harga diri.

Peranan upah variabel adalah untuk mendorong pekerja berprestasi setinggi mungkin. Pemberian upah variabel tersebut dapat dilakukan secara fleksibel. Pada saat sisa hasil usaha besar, upah variabel menjadi besar, dan pada masa sulit, upah variabel akan disesuaikan.

Dengan demikian mudah dipahami bahwa sistem pengupahan berdasarkan produktivitas dapat dilaksanakan hanya bagi kelompok pekerja yang tingkat upahnya relatif sudah memadai, melebihi ketentuan upah minimum, dan sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar pekerja dan keluarganya.

b. Sistem Pendukung

Pelaksanaan sistem upah berdasarkan produktivitas perlu dilengkapi dengan beberapa sistem pendukung seperti sistem pengukuran keuntungan, sistem penilaian prestasi kerja, sistem pengukuran produktivitas, sistem hubungan industrial dan sistem pemberian penghargaan berdasarkan prestasi kerja.

Perumusan sistem pendukung tersebut perlu bukan saja untuk memudahkan pelaksanaan secara teknis, akan tetapi juga untuk mencapai saling pengertian terutama di kalangan pekerja. Sistem-sistem tersebut perlu diinformasikan terlebih dahulu kepada pekerja supaya mereka memahaminya, supaya mereka dapat menerimanya sebagai ketentuan yang harus dipenuhi bersama, dan supaya semua pekerja dan serikat pekerja mendukung pelaksanaannya.

c. Faktor Manusia

Dalam seluruh kegiatan perubahan atau peninjauan kembali struktur pengupahan, penyusunan sistem-sistem pendukung dan pelaksanaan sistem upah berdasarkan produktivitas, faktor manusia memegang peranan yang sangat penting, karena manusia jugalah yang melaksanakannya. Sebab itu, para pejabat atau petugas yang melaksanakan, harus memahami sistem-sistem pendukung dan sistem upah berdasarkan produktivitas itu sendiri.

Dilihat dari segi karyawan, masalah penting biasanya justru bukan apa perubahan dan kenapa perlu perubahan, akan tetapi bagaimana perubahan dilakukan. Reaksi karyawan terhadap rencana perubahan tidak selalu rasional akan tetapi justru sering tidak mudah dipahami, tidak dapat diukur bahkan kadang-kadang tidak rasional. Sebab itu supaya pekerja mendukung rencana pelaksanaan sistem pengupahan berdasarkan produktivitas ini, pimpinan perlu memberikan penjelasan kepada seluruh pekerja dengan memberikan contoh-contoh. Pekerja dan serikat pekerja perlu memahami manfaat sistem baru ini bagi perusahaan dan bagi pekerja sendiri.

Di lain pihak, pengusaha perlu selalu terbuka dan jujur menginformasikan kondisi perusahaan. Kesulitan pekerja menerima suatu sistem biasanya adalah karena kecurigaan mereka atas ketidakjujuran pengusaha. Pekerja mencurigai
pengusaha mengambil keuntungan terlalu banyak dan memberikan kepada pekerja terlalu sedikit. Dengan keterbukaan manajemen, kecurigaan seperti itu dapat dihindari.


3. Tiga Model SPBP

Sistem pengupahan berdasarkan produktivitas dapat mengikuti 3 model :
a. Model Bagi-Keuntungan,
b. Model Produktivitas, dan
c. Model Kombinasi.

Model bagi keuntungan biasanya dilaksanakan melalui pemberian bonus pada akhir tahun. Model produktivitas membutuhkan pengukuran produktivitas setiap orang, setiap unit kerja atau bagian dan produktivitas perusahaan secara periodik misalnya setiap semester, setiap kwartal, setiap triwulan atau setiap dua bulan. Misalnya perusahaan menetapkan pengukuran produktivitas setiap tiga bulan guna menentukan penyesuaian upah variabel untuk 3 bulan berikutnya. Model kombinasi adalah bila pada akhir tahun masih terdapat keuntungan, maka keuntungan tersebut didistribusikan kepada pemilik modal dan kepada pekerja dalam bentuk bonus.

4. Sistem Bagi-Keuntungan

Sistem bagi-keuntungan dapat dilihat sebagai bagian dari atau suplemen terhadap sistem pengupahan berdasarkan produktivitas. Sistem bagi-keuntungan dalam rangka sistem pengupahan berdasarkan produktivitas memerlukan dua sub sistem pengaturan yaitu bagaimana menentukan bagian atau akumulasi keuntungan yang dibagikan dan bagaimana mendistribusikan akumulasi keuntungan tersebut kepada semua pekerja. Kedua sub sistem tersebut harus jelas kepada dan dipahami oleh manajemen, serikat pekerja dan seluruh pekerja.

a. Bagian Keuntungan Yang Dibagikan

Terdapat beberapa cara atau alternatif menentukan bagian dari keuntungan yang dibagikan atau dikembalikan kepada pekerja dalam bentuk bonus yaitu :



1) Persentasi tertentu dari keuntungan sebelum dipotong pajak;
2) Dari jumlah-jumlah tertentu dari keuntungan ditetapkan persentasi secara meningkat;
3) Dari jumlah-jumlah tertentu dari keuntungan, ditetapkan persentasi secara menurun; atau
4) Persentasi tertentu dari keuntungan bersih (setelah dikurangi imbalan untuk modal).

Untuk alternatif pertama, dapat ditetapkan misalnya bahwa 15 persen keuntungan sebelum dipotong pajak akan dibagikan kepada seluruh karyawan dalam bentuk bonus. Misalnya perusahaan dalam satu tahun beruntung Rp 5 miliar. Maka dapat ditetapkan misalnya bahwa 15% dari Rp 5 miliar atau Rp. 750 juta akan dibagikan kepada seluruh karyawan dalam bentuk bonus.

Untuk alternatif kedua dapat ditetapkan misalnya bahwa persentase keuntungan secara bertahap menaik akan dibagikan kembali kepada seluruh pekerja sebagai bonus :

10 persen dari Rp 2 miliar pertama keuntungan,
15 persen dari Rp 2 miliar kedua keuntungan, dan
20 persen dari keuntungan di atas Rp 4 miliar.

Jadi dalam contoh di atas, bagian keuntungan (BK) yang dibagikan adalah:

BK = 10% x Rp 2 miliar + 15% x Rp 2 miliar + 20% x Rp 1 miliar
BK = Rp 200 juta + Rp 300 juta + Rp 200 juta
BK = Rp 700 juta


Pada alternatif ketiga, proporsi keuntungan yang dibagikan kepada seluruh pekerja menurun secara bertahap, misalnya :


20 persen dari Rp 2 miliar pertama keuntungan,
15 persen dari Rp 2 miliar kedua keuntungan, dan
10 persen dari keuntungan di atas Rp 4 miliar.

Jadi bila keuntungan sebelum dipotong pajak Rp 5 miliar, maka bagian keuntungan (BK) yang dibagikan kepada seluruh pekerja adalah :

BK = 20% x Rp 2 miliar + 15% x Rp 2 miliar + 10% x Rp 1 miliar
BK = Rp 400 juta + Rp 300 juta + Rp 100 juta
BK = Rp 800 juta

Alternatif keempat adalah dengan pertama-tama menetapkan bagian keuntungan sebagai imbalan terhadap modal atau saham. Kemudian sisa keuntungan dibagi dua oleh kelompok pemegang saham dan kelompok seluruh pekerja. Misalnya pemegang saham memperoleh tambahan deviden 60% dan seluruh pekerja memperoleh bonus sebesar 40 persen dari sisa keuntungan.

Contoh 1.

Misalnya kondisi perusahaan PT Ruboni tahun 2007 dan 2008 adalah sebagai berikut :


TAHUN
KONDISI PERUSAHAAN
2007
2008

Nilai investasi (miliar rupiah)
15,0
16,0

Jumlah pekerja (orang)
60
65

Penjualan (total sales, miliar rupiah)
46,0
48,0

Nilai tambah (miliar rupiah)
8,9
10,8
Upah dan tunjangan termasuk tunjangan keagamaan satu
bulan gaji (miliar rupiah)
3,9
4,8

Keuntungan (miliar rupiah)
5,0
6,0


Misalnya imbalan terhadap nilai investasi atau return-on-investment (ROI) adalah 20%. Bila keuntungan perusahaan lebih besar dari 20 persen nilai investasi tersebut, maka sisa atau selisihnya dibagi oleh kelompok pemegang saham dan kelompok pekerja. Misalkan kelompok pemegang saham akan memperoleh 60 persen dan kelompok pekerja memperoleh 40 persen.

Dalam contoh di atas untuk tahun 2007, nilai investasi adalah Rp 15 miliar. Jadi imbalan atas modal investasi adalah :

ROI = 20% x Rp 15 miliar = Rp 3 miliar
Jadi sisa keuntungan = Rp 5 miliar - Rp 3 miliar = Rp 2 miliar
Bagian pemegan saham = 60% x Rp 2 miliar = Rp 1,2 miliar
Bagian keuntungan yang
dikembalikan kepada pekerja : = 40% x Rp 2 miliar = Rp 800 juta
Untuk tahun 2007, ROI = Rp 3,2 miliar
Sisa keuntungan = Rp 6 miliar - Rp 3,2 miliar = Rp 2,8 miliar
Bagian pekerja = 40% x Rp 2,8 miliar = Rp 1,12 miliar

b. Distribusi Bagian Keuntungan

Cara termudah dan secara umum dianggap adil dalam mendistribusikan keuntungan adalah secara proporsional menurut distribusi atau struktur upah atau penggajian. Pada contoh 1 di atas, jumlah upah yang diterima 60 orang pekerja dalam tahun 2007 termasuk tunjangan hari raya keagamaan adalah Rp 3,9 miliar. Upah setiap bulan rata-rata adalah Rp 3,9 miliar dibagi 13 bulan, sama dengan Rp 300 juta.

Pada alternatif pertama, bagian keuntungan yang dibagikan kepada pekerja adalah Rp 750 juta. Jadi setiap orang mendapat bonus rata-rata 2,5 bulan gaji. Kelipatan Bagi Keuntungan, KBK = 2,5 bulan gaji.

Pada alternatif kedua, bagian keuntungan untuk bonus Rp 700 juta dan setiap orang memperoleh bonus atau KBK sekitar 2,3 bulan gaji. Demikian seterusnya pada alternatif ketiga 2,6 dan pada alternatif keempat, setiap orang menerima bonus atau KBK sekitar 3,7 bulan gaji.

c. Peranan Bonus

Dilihat dari teori pengupahan, bonus berfungsi sebagai faktor koreksi terhadap sistem pengupahan. Baik karena ketidakpastian keberhasilan perusahaan maupun dalam rangka sistem pengupahan berdasarkan produktivitas, upah biasanya diberikan sedikit lebih rendah dari perkiraan upah potensial. Bila pada awal-awal tahun sudah diberikan upah yang tinggi, maka sulit menurunkannya kembali bila sejak pertengahan dan akhir tahun perusahaan ternyata tidak menunjukkan prospek baik. Bila dengan memberikan upah yang relatif rendah setiap bulan ternyata pada akhir tahun terdapat keuntungan yang sangat besar, maka sebagian keuntungan tersebut dikembalikan kepada pekerja dalam bentuk bonus. Dengan demikian bonus tersebut sebenarnya merupakan bagian upah yang ditahan atau ditunda pembayarannya. Itu sebabnya bonus itu diberikan sebelum pembayaran pajak perusahaan.

Sebagai koreksi upah atau bagian dari upah, bonus tersebut pada dasarnya harus dilihat sebagai penghasilan pekerja, sehingga dikenakan pajak penghasilan dan dibayarkan atau diambil dari keuntungan perusahaan sebelum dipotong pajak perusahaan.

Sebagai koreksi dan bagian upah, bonus tersebut sebaiknya tidak terlalu besar. Sebaiknya bonus berkisar 1 sampai 3 bulan gaji. Bila bonus sampai melebihi 4 bulan gaji berarti bahwa perencanaan dan perkiraan perusahaan kurang akurat dan gaji yang diterima setiap bulan terlalu kecil. Sebab itu daripada memberikan bonus yang terlalu besar setiap akhir tahun lebih baik meningkatkan upah atau gaji yang dibayarkan setiap bulan yang lebih mencerminkan produktivitas pekerja atau imbalan atas jasa kerja mereka. Peningkatan upah tersebut dapat dimasukkan kepada komponen upah tetap dan atau komponen upah variabel.


Sistem bonus akan mendorong pekerja untuk meningkatkan produktivitas kerja mereka. Dengan mengetahui akan memperoleh bagian keuntungan secara adil, maka setiap orang merasa termotivasi untuk meningkatkan keuntungan tersebut.

d. Pemberian Bonus berdasarkan Produktivitas Kerja

Peningkatan keuntungan dapat dipandang sebagai akibat peningkatan produktivitas kerja dari sebagian atau sebagian besar pekerja. Semakin banyak pekerja yang dapat meningkatkan prestasi kerjanya, semakin tinggi tingkat produktivitas kerja, dan semakin besar bagian keuntungan yang dapat dibagikan kepada pekerja.

Mereka yang bekerja lebih produktif patut menerima bonus lebih besar. Untuk itu dapat ditetapkan kaitan indeks produktivitas kerja dengan indeks bonus. Produktivitas kerja (Pr) dapat digolongkan misalnya dalam 5 kelompok yaitu: sangat memuaskan, memuaskan, rata-rata, tidak memuaskan, dan sangat tidak memuaskan. Sesuai dengan penggolongan produktivitas kerja (Pr) tersebut, diberikat bobot atau indeks bonus (IB) misalnya sebagai berikut :

I. Sangat memuaskan : Pr > 115; bobot :1,50
II. Memuaskan : 100 < Pr < 115; bobot : 1,25
III. Rata-rata : 95 < Pr < 100; bobot : 1,00
IV. Tidak memuaskan : 85 < Pr < 95; bobot : 0,75
V. Sangat tidak memuaskan : Pr < 85; bobot : 0,50

Dengan memberikan bobot tersebut maka para pekerja akan menerima bonus dengan proporsi gaji yang berbeda. Misalnya pada Contoh 1 di atas, di antara 60 orang pekerja dalam tahun 2007 terdapat 5 orang di kelompok I, 10 orang di kelompok II, 35 orang di kelompok III, 6 orang di kelompok IV, dan 4 orang di kelompok V. Dengan memberikan bobot seperti di atas, maka bobot dan jumlah indeks bonus dapat disusun sebagai berikut :





Produktivitas
Pekerja
Bobot
Indeks
Bonus

I. Pr > 115
II. 100 < Pr < 115
III. 95 < Pr < 100
IV. 85 < Pr < 95
V. Pr < 85
5
10
35
6
4

1,50
1,25
1,00
0,75
0,50
7,5
12,50
35,00
4,50
2,00

J u m l a h 60 - 61,50


Bila jumlah pekerja yang mempunyai produktivitas kerja sangat memuaskan, memuaskan, rata-rata, tidak memuaskan dan sangat tidak memuaskan tersebar secara merata di semua kelompok tingkatan upah, maka Indeks Bonus bagi setiap kelompok produktivitas kerja dapat ditentukan sebagai berikut :


JK
IB = BP x x KBK
JIB


IB = Indeks Bonus
BP = Bobot Produktivitas Kerja
JK = Jumlah Karyawan/pekerja
JIB = Jumlah Indeks Bonus
KBK = Kelipatan Bagi-Keuntungan


Pada contoh di atas, terdapat 4 alternatif pemberian bonus. Alternatif pertama dengan KBK 2,5 bulan gaji, alternatif kedua dengan 2,3 bulan gaji, alternatif ketiga 2,6 bulan gaji, dan keempat dengan KBK 3,7 bulan gaji. Dengan menggunakan bobot yang diberikan di atas, maka untuk alternatif pertama dengan KBK = 2,5 bulan gaji, indeks bonus bagi tiap-tiap kelompok produktivitas dihitung sebagai berikut :




(1) Indeks bonus sangat memuaskan

60
IB = 1,5 x x 2,5 = 3,66 bulan gaji
61,5


(2) Indeks bonus memuaskan

60
IB = 1,25 x x 2,5 = 3,05 bulan gaji
61,5


(3) Indeks bonus rata-rata

60
IB = 1,0 x x 2,5 = 2,44 bulan gaji
61,5


(4) Indeks bonus tidak memuaskan:

60
IB = 0,75 x x 2,5 = 1,83 bulan gaji
61,5


(5) Indeks bonus sangat tidak memuaskan:

60
IB = 0,50 x x 2,5 = 1,22 bulan gaji
61,5


5. Model Produktivitas


Sebagaimana dikemukakan di atas, model produktivitas membutuhkan pengukuran produktivitas individu, unit kerja, dan perusahaan secara priodik, yaitu setiap semester atau setiap kwartal atau setiap tiga bulan atau setiap dua bulan. Perusahaan dapat melakukan pengukuran tersebut secara bertahap, dan untuk itu perusahaan sebaiknya sejak semula telah menetapkan pilihan jangka panjang. Misalnya perusahaan bermaksud dalam jangka panjang melakukan penyesuaian upah variabel sekali dalam tiga bulan, dan pada tahap awal dimulai dulu dengan pengukuran produktivitas dan penyesuaian upah variabel setiap semester. Bila sudah mempunyai pengalaman, sistem dan peralatan secara memadai, maka pengukuran produktivitas dan penyesuaian upah variabel dilakukan setiap tiga bulan. Bila perusahaan bermaksud dalam jangka panjang melakukan penyesuaian upah variabel sekali dalam dua bulan, maka perusahaan pada tahap awal dapat memulai pengukuran produktivitas dan penyesuaian upah variabel setiap 4 bulan.

Berdasarkan pertimbangan teknis, beban kerja dan biaya pengelolaan, kebiasaan penganggaran dan sistem pembukuan di sektor pemerintah dan sektor swasta, serta ketersediaan data makro dan data penunjang lainnya, penulis menganjurkan perusahaan-perusahaan dalam jangka panjang melakukan pengukuran produktivitas setiap tiga bulan. Penyesuaian upah variabel untuk tiga bulan yang akan datang ditetapkan berdasarkan perkembangan produktivitas dan kondisi perusahaan dalam 3-4 periode yang lampau serta prospek bisnis tiga bulan yang akan datang.

Jadi produktivitas diukur 4 kali dalam satu tahun yaitu untuk bulan Januari s/d Maret, April s/d Juni, Juli s/d September, dan Oktober s/d Desember. Upah variabel bulan April s/d Juni 2009 misalnya, ditetapkan pada minggu pertama atau minggu kedua bulan April 2009 dengan mempertimbangkan :

a. Upah variabel bulan Januari s/d Maret 2009;
b. Perkembangan produktivitas sejak periode April-Juni 2008 sampai dengan periode Januari-Maret 2009;
c. Prospek bisnis yang akan dihadapi dalam periode April-Juni 2009

Penentuan komponen upah variabel bagi tiap unit organisasi dan bagi setiap individu dalam satu unit, dapat ditentukan sesuai dengan perhitungan bonus di atas. Misalkan suatu perusahaan telah menetapkan komponen upah tetap 75% dan komponen upah variabel 25%. Misalkan pula setelah melalui pengukuran produkvititas, satu Seksi tertentu dengan jumlah pekerja 50 orang ditetapkan memperoleh upah variabel hanya 15%. Demikian juga misalkan pekerja tersebut dapat dikelompokkan dalam 5 golongan produktivitas:



Sangat memuaskan : 4 orang
Memuaskan : 6 orang
Rata-rata : 25 orang
Tidak memuaskan : 10 orang
Sangat tidak memuaskan : 5 orang
Jumlah : 50 orang

Komponen upah variabel (UV) untuk masing-masing Kelompok dapat dihitung berdasarkan distribusi produktivitas kerja (Pr) berikut:

Produktivitas Pekerja Bobot Indeks
Upah Variabel

I. Pr > 115
II. 100 < Pr < 115
III. 95 < Pr < 100
IV. 85 < Pr < 95
V. Pr < 85
4
6
25
10
5
1,50
1,25
1,00
0,75
0,50
6,00
7,50
25,00
7,50
2,50
23,2
19,3
15,5
11,6
7,7
J u m l a h 50 48,50 15,0


Komponen Upah Variabel di kolom 5 dapat dihitung dengan formula :

50
UV(i) = BP(i) x x 15%
48,5


6. Model Kombinasi

Model kombinasi adalah perpaduan model produktivitas dan model bagi-keuntungan. Bila setelah melakukan penyesuaian upah variabel secara periodik berdasarkan produktivitas masih terdapat keuntungan pada akhir tahun, maka keuntungan tersebut didistribusikan dalam bentuk bonus kepada pekerja dan tambahan deviden bagi pemilik saham atau pemilik modal.

Sesuai dengan peningkatan produktivitas seluruh pekerja dan kemajuan perusahaan pada umumnya, komponen upah tetap dapat dinaikkan setiap tahun atau sekali dalam dua tahun atau sekali dalam tiga tahun atau paling lama sekali dalam 4 tahun.

7. Prasyarat Penerapan SPBP


Perusahaan yang bermaksud menerapkan Sistem Pengupahan Berdasarkan Produktivitas (SPBP) sebaiknya sudah memiliki beberapa kriteria atau kondisi berikut ini:
a. Upah terendah di perusahaan paling sedikit sudah 10% di atas ketentuan upah minimum kota/kabupaten.
b. Perusahaan sudah memiliki skala upah menurut jenjang jabatan yang disusun berdasarkan hasil analisis jabatan.
c. Perusahaan bersedia menyediakan perangkat atau unit yang bertanggung jawab melakukan pengukuran produktivitas unit-unit dan produktivitas setiap pekerja.
d. Tersedia buku-buku pedoman tentang SPBP, analisis jabatan dan pengukuran produktivitas serta tenaga yang siap memberikan bimbingan teknis dari Pemerintah atau konsultan.
e. Ada kesediaan sikap keterbukaan dan transparansi dari pihak manajemen serta sikap kooperatif dari pekerja dan serikat pekerja.

8. Penerapan di Indonesia

Dunia usaha di Indonesia sekarang ini sangat perlu menerapkan SPBP ini. Pertama, produktivitas dunia usaha di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir ini sangat terpuruk, baik di lingkungan BUMN dan perusahaan multinasional, maupun di lingkungan perusahaan sswasta. Penerapan SPBP ini akan mampu mendorong manajemen dan pekerja untuk bersama-sama meningkatkan produktivitas kerja dan dengan demikian dapat keluar dari keterpurukan tersebut.

Kedua, kasus-kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia telah banyak menguras tenaga dan waktu manajemen, pekerja, serikat pekerja dan Pemerintah, yang selanjutnya merusak iklim kerja dan menurunkan produktivitas nasional. Penerapan SPBP ini menghindari PHK, menciptakan keharmonisan hubungan Industrial, dan secara nasional akan meningkatkan produktivitas nasional.

Ketiga, dengan menerapkan SPBP ini, manajemen dan pekerja tidak perlu lagi pusing dan menghabiskan waktu bernegosiasi menentukan upah minimum provinsi dan upah minimum kabupaten/kota. Dengan demikian, potensi perselisihan antara manajemen dan pekerja dapat dikurangi.

Dalam menerapkan SPBP di Indonesia, dalam tahap awal ini disarankan:

a. Komponen upah tetap 75% dan upah variabel 25% sehingga tidak timbul keraguan atas Peraturan Menteri Tenagakerja yang menetapkan tunjangan tidak boleh lebih dari 25%.
b. Bagi perusahaan dengan gaji terentah hanya sekitar 10% - 25% di atas UMK, maka UMK tersebut dapat dinyatakan sebagai komponen upah tetap.
c. Pengukuran produktivitas dan penentuan besarnya komponen upah variabel dilakukan setiap semester.
d. Komponen upah tetap digunakan sebagai dasar perhitungan dalam penentuan: Iuran Jamsostek, upah lembur dan pesangon.
e. Pajak penghasilan tetap didasarkan pada komponen upah tetap dan upah variabel.

payaman@gmail.com
Simanjuntakpayaman@yahoo.com













Kepustakaan



Asian Productivity Organisation, Linking Wages with Productivity, Report of APO Workshop. Tokyo: APO, 1994.

Chew Soon Beng, Wage Reform in Singapore. Paper presented at the Second Convention of East-Asian Economic Association, Bandung, 27-28 August 1990.

Danny Lam, Tan Koon Yee, Chua Guat Leng, Improving Economic Value Added Through Better Working Capital Management. Singapore : Singapore Productivity and Standards Board, 2002.

Lee Kok Wai, Flexible Wage System. Singapore : Singapore Institute of Management, 1988.

Magota, Ryohei; Hiromasa Suzuki; Lillian Lee; Darshan Singh; Getting Your Flexible Wage System Right. Singapore : National Productivity Board, 1988.

National Productivity Corporation, Handbook on Productivity-Lingked Wage System. Selangor Malaysia : Perbadanan Produktiviti Negara (NPC), 1999.

Simanjuntak, Payaman J., The Need for Wage System and Reform in Indonesia, Paper presented at the Second Convention of East Asian Economic Association, Bandung, 27 - 28 August 1990.

----------, Teori dan Sistem Pengupahan. Jakarta: Himpunan Pembina Sumberdaya Manusia Indonesia (HIPSMI), 1995.

----------, Manajemen dan Evaluasi Kinerja. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, 2005

Woon King Chung, Aleth Wee, Sharon Chang, Priscilla Cheng, The ABC of TFP. Singapore : Singapore Productivity and Standards Board, 1999.

----------, Productivity Measurement. Singapore: Singapore Productivity and Standards Board, 1999.






Den/Makalah/SPBPBARUJUL08/JUL08

No comments: