Friday

MENCARI KEKUATAN DI BALIK KRISIS


Oleh Jansen H. Sinamo






Krisis adalah sebuah paradoks. Di satu fihak dia membawa kematian dan kehancuran zaman lama tetapi di fihak lain dia membawa kehidupan baru dan permulaan sebuah era baru.

Paradoks ialah dua hal yang berlawanan secara kodrati tetapi keduanya benar secara kodrati pula dan bersifat saling melengkapi. Paradoks adalah salah satu sifat hakiki dari kehidupan dan realitas secara umum. Dan bila kita gagal memahami sifat paradoksal realitas kehidupan ini maka kita akan kehilangan pemahaman utuh atasnya. Pemahaman yang tidak utuh mengakibatkan sikap dan perasaan yang keliru, dan selanjutnya mengakibatkan tindakan yang keliru pula.

Misalnya, air dalam format sungai berakhir di laut, tetapi muara tersebut adalah awal dari perjalanan baru sang air. Air itu mati sebagai sungai tetapi memulai hidup baru sebagai laut. Jadi apa yang menjadi akhirnya adalah permulaannya.

Demikian juga dengan krisis, ia adalah akhir dari sesuatu namun juga awal dari sesuatu yang baru. Inilah paradoks krisis. Yang menjadi masalah adalah bahwa pada masa krisis kita mengalami ketakutan dan kebingungan yang sangat riil.

Takut karena kemungkinan cita-cita kita akan mati, perusahaan kita akan mati, nafkah kita akan putus, dan sebagainya. Bahkan sesungguhnya kita sedang berhadapan dengan kematian itu sendiri. Katakanlah little death. Seolah-olah kita sedang mengecap rasa kematian kita pada ujung usia kita nantinya.

Bingung, karena pada masa krisis orang sedang kehilangan jati dirinya, dan semua kepastian-kepastian lama yang telah diakrabi. Tidak lagi tawar namun juga belum asin. Tidak lagi Orde Baru namun juga belum Orde Reformasi. Kepastian-kepastian lama sedang runtuh, tetapi kepastian-kepastian baru belum kelihatan. Pegangan dalam realita lama makin menghilang namun pegangan dalam realita baru belum terbentuk.

Sejalan dengan prinsip paradoks, ketika orang berkata bahwa kita harus mengelola krisis, sebaliknya saya berkata bahwa krisis jangan kita kelola, karena Anda memang tidak bisa mengelola krisis. Secara psikologis, ini sebuah kesulitan besar, karena naluri dasar kemanusiaan kita adalah kehendak kuat untuk mengelola hidup ini. Kita mau taking charge seratus persen. Tetapi sesungguhnya justru keinginan untuk taking charge itulah yang menjadi sumber kehancuran dan penderitaan kita, karena keinginan taking charge itu adalah sebuah ilusi.

***



Jangan Mengelola Krisis

Krisis adalah kondisi kehilangan keseimbanagn akibat suatu perubahan super cepat. Sesungguhnya dunia ini dari dulu terus berubah.. Dolar dari dulu juga terus berubah dalam arti menaik. Namun karena perubahannya kecil, kita selalu bisa menyesuaikan diri. Ketika perubahannya mendadak luar biasa dan kita tidak mampu menyesuaikan diri dengan cepat, maka hilanglah keseimbangan. Lantai tempat berpijak gonjang-ganjing. Ibarat gempa kekuatannya mencapai angka 8 pada skala Richter. Maka semua pijakan kita terbalik, kita tunggang langgang, berjatuhan berguguran dan berserakan bagai daun-daun Bimbo. Itulah krisis.

Manusia pada dasarnya senang berubah, tetapi maunya berlangsung lambat dan teratur. Alon-alon waton kelakon. Perubahan seperti inilah yang selama 32 tahun oleh Pak Harto dikendalikan dengan segenap kekuasaannya dan berhasil membuat bangsa ini maju secara ekonomis. Tapi dinamika perubahan ternyata tidak bersedia dikelola dengan gaya Pak Harto, maka ibarat bendungan ia akhirnya jebol dan menghasilkan air bah. Maka habislah upaya kerja keras tiga dekade itu.

Habibie, karena bukan orang Jawa, maunya cepat tapi teratur. Istilah dia, evolusi yang dipercepat. Harus teratur, artinya bisa dikelola 100%. Buktinya, kita lihat Habibie menggunakan metafora pesawat dalam mengatasi krisis dewasa ini. Dia adalah pilotnya, negeri ini adalah CN-235. Habibie merasa bisa seratus person in-charge. Namun keinginan presiden kita ini adalah sebuah ilusi dan karena itu bakal rontok, cepat atau lambat.

Pada kenyataannya proses-proses dalam sistem alam, khususnya sistem sosial, politik, dan ekonomi tidak pernah berlangsung teratur. Tidak bisa diatur-atur. Dinamika sistem itu beroperasi di luar kemauan kita. Tidak bisa kita bilang, “Hei alam, hei masyarakat, hei rupiah, kamu harus teratur!” Tidak mungkin. Alam, ekonomi, politik, dan moneter beroperasi secara tidak teratur; umumnya lambat, namun sesekali cepat luar biasa dan mengejutkan. Gempa tidak memberi aba-aba bahwa dia mau datang. Banjir tidak memberi aba-aba akan kedatangannya. Rupiah juga tidak memberi sinyal kenaikan atau keturunannya. Dia langsung datang menerjang. Kita cuma bisa terperangah, kaget dan terkejut. Yang bisa kita lakukan - jika krisis datang - ialah berserah pada Kekuatan Di Balik Krisis itu.

Sebagai illustrasi saya kutip sebuah kejadian tragis di sebuah bendungan di wilayah utara Maine, Amerika Serikat, dituturkan oleh Peter Senge dalam buku The Fifth Discipline. Pada waktu itu seorang pemuda jatuh ke dalam air yang sedang membeku karena perahu karetnya terbalik. Pemuda ini dengan segenap kekuatannya, berusaha berenang melawan pusaran air. Tetapi perjuangannya cuma berlangsung beberapa menit. Ia tewas kena hipotermia (beku). Segera tubuh beku itu disedot oleh pusaran air ke dasar bendungan dan muncul beberapa detik kemudian di saluran pembuangan di balik bendungan. Dia telah berjuang mengatasi krisis, namun akhirnya dia mati karena tidak tahu bahwa jalan kehidupan pada saat itu sebetulnya adalah menyerah pada kekuatan pusaran air. Seandainya dia menyerah, bahkan menyelam, bukan mempertahankan kepalanya di atas air, maka dalam beberapa detik dia pasti sudah sampai di balik bendungan. Lecet-lecet, tetapi masih hidup.

Jadi sekali lagi, di zaman krisis ini yang perlu kita lakukan bukanlah mengelola krisis tetapi menyerah kepada The Power Behind The Crisis itu. Maka pertanyaan kita kemudian adalah apakah krisis itu? Apa dan siapakah yang membuat krisis itu terjadi? Mengapa krisis terjadi? Bagaimana krisis berlangsung?

***

Sepintas lalu krisis rasanya sudah jelas bagi semua orang. Tapi saya berani bertaruh bahwa kebanyakan orang belum memahami krisis itu pada tingkat hakekat. Kita baru memahaminya pada tingkat dampaknya saja. Akhirnya, seperti dalam bidang lain juga, pembicaraan kita tentang krisis termasuk reformasi, cuma retorika dan jargon. Riuh rendah gemanya, namun membingungkan.

Sebetulnya kalau kita belajar hukum alam kita akan tahu bagaimana beroperasinya proses-proses alam. Begitu juga hukum-hukum sosial, moral, politik, dan ekonomi akan menjelaskan semua dinamika dalam proses-proses di tingkat sosial itu. Satu hal yang jelas ialah bahwa hukum-hukum itu tidak bisa dilawan. Ia di luar diri kita. Obyektif. Ia beroperasi dengan atau tanpa sepengetahuan kita. Dengan atau tanpa persetujuan kita. Ia seratus persen independen.

Tetapi, dan ini sangat penting dan tolong Anda garis bawahi, jika kita memahami hukum-hukum yang menjadi landasan dari semua dinamika sistem-sistem alam dan manusia, maka kita akan dimampukan (diberdayakan) untuk hidup harmonis dan selaras dengannya. Hidup selaras dan harmonis dengan hukum-hukum alam, moral, dan sosial termasuk ekonomi dan politik, itulah yang saya maksud dengan menyerah dan berserah. Dalam bahasa agama, hal ini disebut bertakwa.

Krisis dewasa ini adalah turbulensi multidimensional: sosial, politik, ekonomi, dan terutama moral. Walau demikian, semua hukum-hukum dalam semua dimensi tadi, tetap berlaku. Pada waktunya semua krisis akan berakhir dan mencapai kesetimbangan atau ekuilibrium baru. Dapat dipastikan pula, akan datang krisis baru, disusul oleh kesetimbangan baru, krisis lagi, setimbang lagi, demikian seterusnya. Yang kita perlukan adalah sikap takwa, menyerah dan berserah. Dalam ketakwaan inilah terletak kekuatan kita untuk tetap hidup.

Jangan melawan hukum, tidak ada gunanya, malah pasti mematikan, cepat atau lambat. Orde Baru melawan dan melecehkan banyak hukum-hukum selama 32 tahun, namun akhirnya kehabisan tenaga. Sesungguhnya, hukum tidak bisa dilawan. Bisa dilawan tapi cuma sementara. Pada satu titik kita akan kalah.

Salah satu hukum alam yang paling nyata adalah gravitasi. Bumi menarik segala hal yang punya massa. Tangan kita yang merentang 90 derajat juga ditarik oleh gravitasi bumi. Anda bisa petentengan dengan berkata bahwa hukum gravitasi bisa Anda kalahkan. Tetapi berapa jam Anda bisa bertahan? Tidak sampai satu jam Anda pasti tidak sanggup lagi menahannya. Biar pun Anda berdoa, tangan Anda pasti jatuh.

Hukum-hukum moral seperti keadilan, kebenaran, kejujuran, kesamaan derajat, hormat pada martabat manusia, kasih sayang, dan sebagainya, seperti gravitasi, sangat riil dan tampaknya bisa dilawan. Tapi seperti gravitasi, perlawanan kita cuma sementara. Hindia Belanda melawannya di Indonesia, Inggris melakukannya di India, Portugis melakukannya di Timor Timur, ABRI melakukannya di Aceh dan Tanjung Priok, Marcos melakukannya terhadap rakyatnya, begitu juga Mobutu, Shah Iran, dan semua dikatator. Hukum-hukum moral itu cuma bisa mereka lawan sementara saja. Akhirnya merekalah yang diterjang oleh konsekuensi pelanggaran dan pelecehan hukum-hukum itu.

Siapakah di yang berada balik hukum-hukum ini sehingga kita tidak mampu melawannya? Kita tahu dia adalah Tuhan sendiri. Dialah yang menjadikan hukum-hukum alam, moral, dan psikologikal. Hukum dalam tiga dimensi ini kemudian mengejawantah dalam hukum-hukum pada dimensi sosial, ekonomi, dan politik.

Jadi pada dasarnya krisis ini terjadi karena kita berusaha melawan Tuhan. Akibatnya energi alam, moral, dan sosial yang tersumbat dan terbendung itu terbebaskan dengan tiba-tiba. Hasilnya senuah guncangan yang luar biasa. Terjadilah gempa bumi sosial, gempa bumi moneter dan ekonomi, serta gempa bumi politik.

Ketidakseimbangan politik, ekonomi, sosial, dan moral selama 32 tahun, sebagai akibat pelanggaran-pelanggaran hukum tadi, akhirnya mencapai titik kritis. Kemudian ia jebol dan mengakibatkan guncangan hebat, menuju sebuah kesetimbangan baru. Dalam gunjang-ganjing ini tentu banyak yang menjadi korban dalam bentuk kematian-kematian dalam berbagai dimensi. Apa boleh buat, itulah adalah konsekuensi pilihan kita selama 32 tahun. Kata orang, tangan mencencang bahu memikul. Kita bebas berbuat apa saja, tetapi kita tidak bebas dari konsekuensi logisnya.

Lagu kebangsaan kita berbunyi, "…bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya”. Namun selama 32 tahun prinsip itu kita jungkirbalikkan. Kita cuma membangun badan, gedung, dan jalan tetapi tidak membangun akhlak, moral, dan iman. Hasilnya akhirnya adalah keruntuhan sebuah tatanan ipoleksosbud bernama Orde Baru.

Namun, kesetimbangan baru akan dan pasti tercapai. Saya berpendapat bahwa dari segi moral dan spiritual, krisis ini sesungguhnya bermaksud untuk menyucikan hati nurani dan jiwa bangsa Indonesia. Artinya krisis ini akan membersihkan jiwa bangsa kita dari segudang kemunafikan. Dari pengutamaan dan penimbunan harta benda dan kekayaan material. Dari pengutamaan dan pemuasan tak kunjung habis akan hal-hal yang badani. Dari pengutamaan dan pemujaan kekuasaan, pangkat, dan dan jabatan. Akhirnya untuk kembali mengutamakan hal-hal yang jiwani dan yang rohani. Sesungguhnya, Wage Rudolf Supratman sangat benar. Itulah jati diri kita. Manusia memang pertama-tama adalah makhluk spiritual, baru kemudian makhluk sosial. Masyarakat atau negara pertama-tama adalah kesatuan moral dan etis, baru kemudian kesatuan sosial dan politik. Perusahaan pun pertama-tama adalah organisasi moral dan etis baru kemudian organisasi bisnis dan moneter. Jangan dibalik, dan tidak boleh dibalik. Ordernya memang demikian. Membaliknya berarti menghancurkannya.

Di bidang ekonomi, krisis ini bermaksud untuk mencapai kesetimbangan baru dimana monopoli akan hilang, ekonomi rakyat akan tumbuh, distribusi benda-benda ekonomis akan lebh merata. Di bidang politik, akan terjadi keseimbangan kekuatan antarlembaga tinggi negara, antara negara dan masyarakat, antara pejabat dan rakyat. Namun agar kesetimbangan baru di atas cepat tercapai maka kita memerlukan penyerahan dan ketakwaan total kembali pada Tuhan dan hukum-hukum ciptaanNya setidaknya dalam lima dimensi.

Pertama, di bidang moral: patuhilah hukum-hukum moral, etika, dan kesusilaan di segala bidang. Buatlah prinsip-prinsip moral menjadi pusat kehidupan (life center) dari diri kita, keluarga kita, perusahaan kita, yayasan kita, ekonomi kita, politik kita, dan negara kita.

Kedua, di bidang alam: janganlah merusak bumi, air, laut, hutan, dan udara. Pelihara lingkungan hidup. Jangan jual alam kita demi untung pribadi secara cepat. Marilah kita bertani, melaut, dan menghutan dengan sikap hormat pada alam. Jangan biarkan alam marah dalam bentuk kebakaran hutan, banjir, hama belalang dan tikus. Patuhlah pada hukum-hukum alam. Ikuti siklus alam. Hargai alam sebagai ciptaan Tuhan. Olahlah alam dengan ramah, pelihara alam dengan cinta kasih.

Ketiga, di bidang politik dan hukum: terapkanlah keadilan, hargailah demokrasi, tinggikanlah HAM, dan ratakanlah rejeki negara buat rakyat. Jangan tindas rakyatmu terutama kaum miskin. Jangan sakiti perasaan masyarakat, jauhkan kebencian antarkelompok, dan perlakukan semua warga sama di depan hukum. Jangan takut dan curiga kepada rakyat, cintailah mereka, dorong rakyat untuk maju, berikan kebebasan untuk berekspressi dan berkreasi.

Keempat, di bidang ekonomi dan moneter: Patuhi prinsip-prinsip ekonomi dan teknis moneter universal. Hindari rekayasa demi keuntungan kelompok tertentu, jauhi korupsi, haramkan kolusi, buang nepotisme.

Kelima, di bidang organisasi: Patuhi prinsip-prinsip manajemen profesional, jangan besar pasak dari tiang, utamakan mutu, layani pelanggan, hematlah di segala bidang, bikin produk baru yang inovatif, jual produk lama secara kreatif. Kembangkan SDM, jangan sakiti hati karyawan, beri upah yang layak dan adil relatif terhadap upah eksekutif, terapkan sistem merit, dan manusiakan mereka dalam organisasi. Kemudian junjung etika bisnis dasar berikut ini: jangan merugikan atau mencelakakan orang lain; hormati hak-hak orang lain; jangan berdusta atau menipu; tepati janji dan penuhi semua kontrak-kontrak; patuhi peraturan dan jangan melanggar hukum; bantulah mereka yang sedang butuh; bersikaplah adil; dan berbuatlah kebaikan bagi masyarakat.

***

Tampaklah bahwa berserah atau takwa kepada Tuhan dan hukum-hukumNya bukanlah sesuatu yang pasif dan fatalistik. Jauh sekali bedanya. Takwa dan berserah adalah proaktif, kerja keras, dan komit untuk berpihak pada kebenaran dan membuat kebenaran itu menjadi realita. Sesungguhnya bertakwa adalah kerja yang paling intensif.

Yang kita butuhkan adalah kesediaan dan kapasitas untuk menderita dan menunda kesenangan. Untuk dua maksud. Pertama, kesedian menderita menanggung akibat-akibat dari krisis ini seperti harga yang terus naik, pengencangan ikat pinggang, dan berpuasa dari macam-macam kemewahan zaman lama. Yakinlah, bahwa akibat-akibat krisis ini tidak akan membuat kita mati. Sebagai orang beragama kita yakin bahwa hidup ini lebih besar daripada krisis dan semua akibat-akibatnya. Kita perlu mencamkan perkataan Nietzche, "Apa yang tidak bisa mematikanmu sesungguhnya menguatkanmu." Kedua, kapasitas menunda kesenangan dalam bentuk laku prihatin dan hemat untuk masa depan, kerja keras untuk bertahan, belajar keras untuk inovasi baru, menurunkan standar gaya hidup, dan menurunkan ekspektasi masa depan.

Hiduplah lebih realistik, terima kenyataan sepahit apapun. Anggaplah ini semua sebagai pendidikan karakter untuk lebih siap menghadapi abad ke-21 yang konon lebih dahsyat krisisnya. Belajarlah dari masa lampau, tapi jangan tertawan oleh kejayaan masa lampau. Jangan tangisi sejarah tetapi tegakkanlah wajah memandang ke depan. Teguhkan hati dan ingat bahwa Tuhan selalu ada menolong. Jangan menyalahkan siapa-siapa. Jangan mengutuki para pemimpin orde yang sudah lewat itu. Biarkanlah mereka menjalani hukuman atas dosa-dosa mereka dengan lebih tenang. Karena lebih baik menyalakan sebatang lilin daripada mencerca kegelapan. Ini semua adalah bagian dari ketakwaan dan penyerahan kita pada The Power Behind The Crisis tadi. Selamat berjuang dan moga-moga selamat.

***

Jansen H. Sinamo adalah Direktur Institut Darma Mahardika, sebuah institusi bisnis yang bergerak di sektor SDM yang memfokuskan diri dalam bidang pengembangan Etos Kerja Profesional, Kepemimpinan Etis, Inovasi Sistematik, dan Kualitas Keunggulan.





No comments: