Friday

MASALAH LINGKUNGAN DAN ETIKA GLOBAL


Oleh Jansen H. Sinamo




Abad Ke-21: Zaman Lingkungan

Agenda lingkungan hidup kini sudah menjadi agenda internasional di segala bidang: politik, perdagangan, industri dan lain-lain. Agenda ini muncul dan semakin menguat karena kesadaran lingkungan kini semakin merata justru karena kekhawatiran yang semakin besar dengan terancamnya kualitas bumi kita sebagai satu-satunya tempat hidup di alam semesta. Memasuki abad ke-21, menyitir kembali John Naisbitt, sebenarnya kita sedang memasuki zaman lingkungan, tepatnya era restorasi lingkungan yang didasari oleh cinta pada bumi dan segenap kehidupan di dalamnya.

Era kezaliman terhadap lingkungan kini sudah melewati titik baliknya menuju keusaiannya. Ke depan, usaha-usaha yang masih mencemari lingkungan tidak memiliki harapan lagi. Produk-produk yang dihasilkan dengan biaya lingkungan yang mahal tidak lagi mempunyai tempat di pasar internasional. Mantapnya sikap pro-lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup, yang ditunjukkan dengan rekomendasi penutupan Indorayon tanggal 17 Januari 2000 yang lalu, menegaskan hal ini.

Sebaliknya, etik baru yang sayang lingkungan kini sedang bertumbuh menguat. Dengan tegas Menteri Lingkungan Hidup Dr Sonny Keraf menyatakannya dalam pidato pertamanya, "…saya datang hanya membawa satu hal: hati saya, kecintaan saya, kepedulian saya akan lingkungan”.

Problem lingkungan memang tidak berdiri sendiri. Ia hadir secara bertautan dan berpilin rumit dengan problem-problem lainnya di bidang politik, moneter, sosial-budaya, pendidikan dan lain-lain. Secara umum krisis-krisis multidimensional tersebut muncul karena tidak seimbangnya porsi “hi-tech” dengan “hi-touch” kita. Kemajuan ilmu dan teknologi manusia berlangsung dengan kecepatan eksponensial (terutama pada abad 20) sedangkan kemajuan etika dan moralitas kita ternyata hanya mendatar. Sementara manusia sudah sampai menjelajah Bulan dan Mars, mereparasi gen dan merekayasa kromosom; tetapi di berbagai belahan dunia kebencian antaragama, antaretnik dan antarras masih berlangsung dengan menakutkan; lingkungan rusak dimana-mana; dan KKN berlangsung pada tingkat sangat biadab. Krisis kemudian mengancam dimana-mana. Seperti dikatakan Sonny Keraf dengan tepat, "Bangsa ini sekarang hancur karena etika dan moralitas bangsa telah hancur dan rusak."

Permasalahan lingkungan terjadi, menurut Menteri Sonny, bukan karena bangsa Indonesia tidak menguasai ilmu dan teknologi, melainkan karena mengabaikan etika dan moralitas. Hutan rusak, udara kotor, sungai dicemari limbah industri, dan sederet masalah lingkungan terjadi bukan hanya karena bangsa Indonesia tidak pandai dalam ilmu ekonomi dan teknologi, tetapi juga karena kita sebagai manusia sedemikian tidak bermoral, rakus dan tamak, hanya memikirkan kepentingan sendiri dengan mengabaikan kepentingan orang lain dan generasi mendatang.

"Dalam kaitan ini, yang dibutuhkan bagi pembangunan lingkungan hidup bukan hanya teknologi dan profesionalisme, tetapi juga etika dan moralitas. Yang dibutuhkan bukan hanya otak, melainkan juga hati. Oleh karena itu lembaga ini tidak membutuhkan hanya “high tech” yang sudah dikuasai banyak ahli di kantor ini. Yang terutama dibutuhkan adalah “high touch”, sentuhan moral, etika dan pendekatan budaya”, kata Sonny selanjutnya.

Sonny Keraf tidak sendirian. Pada tingkat global pengenalan masalah seperti itu sudah semakin jelas. Masalah-masalah dan krisis-krisis kita ternyata tidak khas Indonesia, tetapi merupakan fenomena global. Artinya terdapat juga masalah-masalah global dan krisis-krisis global yang kait mengait dengan kita di Indonesia. Hans Kung, direktur Center for Global Ethics yang bermarkas di Tubingen, Jerman, mencatat bahwa dunia kita masih tetap berduka karena ratusan juta orang menderita karena pengangguran, kemiskinan, kelaparan dan rusaknya institusi keluarga. Perdamaian antarbangsa semakin jauh. Hubungan antargenerasi, antarsuku dan antaragama menegang. Jutaan anak-anak mati, membunuh dan dibunuh. Banyak negeri yang gonjang-ganjing oleh mega korupsi terutama di bidang politik dan bisnis. Jutaan orang terusir dari habitatnya karena perang. Hidup rukun semakin sulit karena berbagai konflik sosial dan rasial. Tetangga merasa takut terhadap tetangganya. Belum lagi soal narkoba, kejahatan terorganisir, serta anarki dan kriminal. Masih ditambah soal planet kita yang terus bertambah rusak karena keserakahan manusia dan industriwan. Maka ekosistem kehidupan kita pun terancam kolaps. Dan semua ini menjadi ancaman bagi kita semua. Demikian Hans Kung yang serasa bicara tentang Indonesia, padahal dia sedang bicara tentang dunia yang baru saja menyambut subuh milenium baru dengan gegap gempita.

Titik Berangkat: Kesadaran Baru

Secara hakiki, Kung dan Keraf sependapat, bahwa pada tingkat paling fundamental, semua masalah ini terjadi karena umat manusia tidak mampu hidup sesuai dengan warisan moral kemanusiaannya yang luhur. Individu dan organisasi ternyata berperilaku menyimpang yang dalam skala global kemudian menjadi monster yang mengancam eksisitensi kita semua.

Untuk mengatasi masalah ini sangat tidak mudah. Solusinya amat kompleks. Tetapi himpunan solusi apapun, semuanya harus dimulai dari sebuah kesadaran baru. Kesadaran baru ini kemudian harus disosialisasikan sehingga membentuk paradigma bersama tentang perlunya perubahan perilaku kita secara bersama, mulai pada tingkat individual, lokal dan akhirnya global. Logika paradigma bersama ini secara sederhana dapat diungkapkan sebagai berikut:

1.Kehidupan di bumi ini: tumbuhan, hewan dan manusia berada dalam suatu saling ketergantungan yang erat dan bahwa perilaku menyimpang umat manusia (sebagian atau seluruhnya) dapat menghancurkan seluruh tata kehidupan bersama kita secara global.

2.Kenyataannya, dunia kita sedang mengalami krisis fundamental: krisis ekonomi global, krisis ekologi global, dan krisis politik global sebagai manifestasi dari sikap dan perilaku manusia yang mengabaikan moralitas dasar.

3.Karena itu, kita semua mempunyai tanggungjawab yang sama untuk menciptakan sebuah tata kehidupan global baru yang lebih baik sehingga kehidupan bisa berlangsung berkelanjutan;

4.Keterlibatan kita untuk menegakkan kebebasan, keadilan, perdamaian, hak asasi manusia, dan pelestarian lingkungan hidup merupakan hal yang perlu dan seharusnya;

5.Dan perbedaan-perbedaan kita dalam tradisi religius dan kultural semestinya tidak perlu menghalangi keterlibatan bersama kita dalam melawan semua bentuk kejahatan dan perilaku-perilaku meyimpang yang membahayakan tata kehidupan global kita;

6.Meskipun etika dan moralitas saja tidak bisa menyelesaikan semua masalah di dunia ini, tetapi etika menyediakan landasan moral bagi solusi-solusi lain di bidang ekonomi, politik, dan hukum; yaitu bahwa etika menyediakan nilai-nilai batiniah yang membangkitkan inspirasi, orientasi dan makna dalam hati manusia.

7.Karena tata kehidupan global yang lebih baik tidak mungkin dicapai tanpa adanya etik global, maka harus dicari bersama -- dari kekayaan tradisi kepercayaan dan budaya kita -- sehimpunan nilai-nilai moral dasar yang dapat disusun menjadi sebuah Etik Global.

8.Harapan ini semakin kuat, karena sesudah melewati dua perang dunia, ditambah runtuhnya fasisme, nazisme, komunisme, kolonialisme, imperialisme dan berakhirnya perang dingin; dunia sebenarnya sedang memasuki fase baru dalam sejarahnya; yaitu bahwa dunia kini memiliki sumber daya spiritual, ekonomi, dan budaya yang cukup untuk membangun sebuah tata kehidupan global yang lebih baik.

Platform Bersama: Etik Global

Kesadaran baru di atas kemudian mendorong berbagai fihak untuk mencari sebuah Etik Global yang dapat dipakai sebagai platform bersama untuk menata kehidupan global yang baik dan berkelanjutan. Dengan penugasan Parlemen Agama-agama Sedunia, Hans Kung pada tahun 1993 menyusun apa yang kemudian disebut sebagai Declaration for Global Ethic. Batang tubuh deklarasi ini terdiri dari empat komponen yang saripatinya disajikan berikut ini:

1.Membangun Budaya Non-Kekerasan dan Sikap Hormat Pada Kehidupan.

Bersama-sama, kita harus mampu mengalahkan kebencian berkepanjangan dan kekerasan antarindividu, antarkelompok sosial, etnik, ras dan agama. Kecenderungan pada kekerasan ini, khususnya kejahatan terorganisir yang didukung dengan teknologi, telah mencapai proporsi yang menakutkan. Dimana-mana terlihat kecemburuan, iri hati, dan rasa benci yang mengakibatkan permusuhan, pertikaian, kekerasan dan pembunuhan. Karena itu kita harus meyakini kembali perintah lama ini: Jangan membunuh; atau dalam ungkapan positifnya: Hormatilah kehidupan!

Hidup seorang manusia tidak ternilai harganya. Karena itu ia harus dilindungi tanpa kondisi. Tetapi tidak hanya manusia, binatang dan tumbuhan -- yang menghuni planet ini bersama kita -- juga layak dilindungi, dipedulikan dan dijaga. Selain itu, kita juga harus bertanggungjawab terhadap udara, air dan tanah dengan mengingat generasi yang akan datang. Keunggulan manusia atas hewan dan tumbuhan, tidak boleh dilebih-lebihkan, tetapi kita harus mengusahakan hidup rukun dengan alam. Pendeknya, kita harus hormat pada kehidupan, semua kehidupan.

Karena itu, kita harus belajar memecahkan masalah tanpa kekerasan. Hanya dengan itulah budaya non-kekerasan dapat dibangun. Semua orang berhak hidup, mempertahankan, dan membangun dirinya, tetapi tidak boleh sambil mencederai hak-hak orang lain. Memang dimana ada manusia di situ ada konfllik, tetapi konflik harus diselesaikan tanpa kekerasan. Ini merupakan keharusan bagi individu tetapi terlebih bagi penguasa. Para penguasa harus bertekad mempertahankan metoda non-kekerasan dalam kerangka tata perdamaian internasional. Perlu diingat bahwa tidak mungkin kelangsungan hidup bersama kita di bumi ini terjamin tanpa adanya perdamaian. Maka kita tidak boleh berlaku kasar dan kejam, tetapi harus peduli dan bersikap menolong. Setiap orang, setiap golongan, setiap ras dan agama harus menunjukkan toleransi, respek, dan apresiasi terhadap yang lain. Kaum minoritas -- apakah rasial, etnik dan agama -- membutuhkan perlindungan dan dukungan kita bersama.

2.Membangun Budaya Solidaritas dan Tata Ekonomi yang Adil.

Bersama-sama, kita harus mampu mengatasi masalah kelaparan, pengangguran, penindasan, kerja paksa dan jurang kaya-miskin akibat ketidakadilan struktural. Pada tingkat yang lebih mengakar, kita juga harus memerangi materialisme, pengejaran laba tanpa batas, serta kanker sosial berupa korupsi dan pencurian. Untuk itulah kita harus meyakini kembali perintah lama ini: Jangan mencuri; atau dalam ungkapan positifnya: Berlakulah jujur!

Tidak ada orang yang berhak mencuri dan merampas milik orang lain, bagaimanapun caranya. Sebaliknya, tidak ada orang yang berhak menggunakan miliknya tanpa mempertimbangakan kebutuhan orang di sekitarnya. Telah nyata bahwa dimana terdapat kemiskinan yang ekstrim, di situ pula terjadi pencurian dan korupsi untuk sekedar bertahan hidup. Sebaliknya, dimana terdapat penumpukan berlebihan atas harta dan kekuasaan, disitu pula muncul kecemburuan, ketidaksenangan dan kebencian. Dua hal ini sangat merangsang terjadinya lingkaran diabolik "violence and counter-violence". Kuncinya adalah keadilan. Dan kita tahu, tidak akan ada perdamaian global tanpa adanya tatanan global yang adil.

Karena itu, kekuasaan ekonomi dan politik tidak boleh disalahgunakan demi dominasi kelompok. Sebaliknya kekuasaan harus digunakan untuk melayani kemanusiaan dengan sikap belarasa kepada mereka yang kurang mampu. Kepedulian khusus harus diberikan kepada orang miskin, pengungsi, cacat, jompo, dan mereka yang kesepian. Kebutuhan akan uang, konsumsi, dan gengsi tidak boleh diumbar. Tetapi harus diusahakan agar selalu wajar dan moderat. Kita harus mengingat bahwa keserakahan membuat manusia kehilangan jiwanya, kebebasannya, dan justru karenanya, kehilangan hal-hal yang membuat dia manusia.

3.Membangun Budaya Toleransi dan Hidup Dalam Kebenaran.

Bersama-sama, kita harus mencela politisi dan usahawan yang memakai teknik penipuan sebagai metoda mencapai sukses. Kita juga harus mengecam media massa yang menyiarkan propaganda alih-alih informasi yang akurat, ilwuwan yang mengabdi pada program politik dan ekonomi tertentu dengan mengabaikan nilai-nilai etis fundamental; serta pimpinan-pimpinan agama yang melecehkan agama lain sembari mengkhotbahkan fanatisme dan intoleransi alih-alih membangun saling pengertian, respek, dan toleransi. Kita harus melawan semua bentuk kemunafikan dan demagogi; dusta dan kebohongan. Untuk itulah kita harus meyakini kembali perintah lama ini: Jangan berbohong; atau dalam ungkapan positifnya: Berkatalah benar!

Tidak ada orang, institusi, bahkan negera yang berhak membohongi orang lain dengan alasan apapun. Secara khusus, hal ini benar untuk media. Mereka memang memiliki kebebasan pers, tetapi mereka tidak berada di atas moralitas dan nilai-nilai etis fundamental. Mereka tidak berhak mengganggu kehidupan pribadi orang, memanipulasi pendapat umum, dan memelintir kenyataan. Seniman dan ilmuwan -- yang diberi kebebasan seni dan kebebasan mimbar – juga tidak terkecualikan dari tuntutan etika umum. Mereka pun harus melayani kebenaran dengan tulus. Politisi yang berbohong kepada konstituennya tidak pantas dipilih ulang. Demikian juga pemimpin umat yang membangkitkan kebencian dan permusuhan terhadap agama lain tidak layak diikuti dan mempunyai pengikut.

Karena itu, alih-alih bersikap tidak jujur kita harus bersemangat dalam menegakkan kebenaran; alih-alih menyiarkan opini setengah benar kita harus mencari kebenaran dalam kemurnian dalam ketulusan; serta alih-alih mengejar oportunisme kehidupan kita harus melayani dengan penuh integritas dan kebenaran.

4.Membangun Budaya Persamaan Hak, Kemitraan Laki-laki dan Perempuan.
Bersama-sama, kita harus menghilangkan berbagai bentuk sistem patriarki yang tercela, dominasi gender, eksploitasi perempuan dan anak-anak, serta pelecehan seksual dan prostitusi. Untuk itulah kita harus meyakini kembali perintah lama ini: Jangan berjinah; atau ungkapan positifnya: Hormati dan kasihilah sesamamu!

Secara konkrit ini berarti bahwa tidak seorang pun berhak merendahkan martabat orang lain sebagai obyek seks semata, atau membuat mereka tergantung secara seksual. Eksploitasi seks harus dicela sebagai salah satu bentuk terburuk dari degradasi manusia. Jika -- atas nama keyakinan agama -- dominasi kelamin tertentu atas kelamin yang lain dikhotbahkan, pelecehan dan eksploitasi seksual serta prostitusi anak-anak dibiarkan, maka hal tersebut haruslah dikecam dengan keras.

Karena itu, anak-anak dan orang muda harus diajar sejak dini bahwa seksualitas bukan hal yang negatif tetapi sebuah daya insani yang kreatif. Hubungan laki-laki dan perempuan memang mempunyai dimensi seksual tetapi pemenuhan jati diri kemanusiaannya tidak identik dengan pemuasan seksual. Seksualitas haruslah merupakan ekspresi dan peneguhan kasih sayang dalam sebuah hubungan kemitraan hidup. Di fihak lain, tradisi relegius tertentu yang mengenal pertarakan sukarela, dapat juga merupakan ekspresi identitas dan pemenuhan jati diri kehidupan yang bermakna. Perkawinan sebagai institusi sosial -- dengan semua variasi kultural dan religius yang ada -- harus dicirikan oleh kasih sayang, kesetiaan dan permanensi. Perkawinan seyogianya bertujuan untuk -- dan harus dijamin bagi -- terciptanya rasa aman dan saling mendukung antara suami, isteri, dan anak-anak beserta semua hak-hak mereka. Untuk itu semua negeri dan budaya harus membangun tata ekonomi dan sosial dimana perkawinan dan keluarga memang layak untuk manusia, dan khususnya untuk orang-orang tua. Orangtua tidak boleh mengeksploitasi anak-anaknya, demikian juga anak-anak terhadap orangtuanya; tetapi hubungan kekeluargaan tersebut harus penuh dengan sikap saling menghormati, menghargai dan mempedulikan.

Kesimpulan

1.Etik Global dan moralitas umum adalah fundamen bagi penyelesaian berbagai masalah nasional dan global termasuk masalah lingkungan hidup, yang di atasnya solusi-solusi lain seperti ekonomi, politik, dan sosio-budaya dilandaskan.

2.Masalah lingkungan hidup termasuk restorasi lingkungan yang terlanjur rusak merupakan bagian integral dari masalah bersama di berbagai bidang.

3.Solusi yang kita kerjakan, meskipun sebuah tindakan lokal, harus kita fahami dalam kerangka kesadaran global sehingga efek penyelesaiannya diharapkan dapat berskala global juga.

4.Abad ke-21 lebih memberikan optimisme karena semua agama dan keyakinan ternyata dapat bersatu padu mengatasi masalah bersama karena pada wilayah etik-fundamental mereka ternyata memiliki nilai-nilai bersama yang dapat dipakai secara operasional.


No comments: