Friday

TNI, GUS DUR DAN ABAD 21

Oleh Jansen H. Sinamo


(Tulisan ini dibuat menjelang akhir Desember 1999)


Ketika NU bermuktamar bulan lalu, puncak acaranya adalah pemilihan Ketua Tanfidziah sebagai pengganti Gus Dur. Sejumlah calon-calon berbobot tampil ke arena. Banyaknya bintang ini secara umum dapat disebut sebagai keberhasilan Gus Dur melakukan kaderisasi dalam tubuh organisasi Islam terbesar di tanah air ini.

Apakah di masa depan bintang-bintang tersebut dapat tampil mencorong sekualitas Gus Dur, memang masih merupakan pertanyaan yang menarik untuk diamati. Namun dengan asumsi bahwa Gus Dur selain berhasil memoncerkan bintang-bintang di sekitarnya dengan cara memberi kesempatan seluas-luasnya bagi mereka mengembangkan talenta kepemimpinannya, berhasil juga mentrasfer visi keislaman dalam paradigma keindonesiaan baru seperti yang diteladankannya, maka NU sebagai sumber rekrutmen kepemimpinan pada tingkat nasional akan semakin diteguhkan.

Tampilnya NU sebagai sumber rekrutmen kepemimpinan baru ini dapat dipandang sebagai buah pergeseran paradigma global abad 21 yang semakin menjunjung tinggi budaya dan nilai-nilai etika, demokrasi, lingkungan hidup, HAM, dan pluralisme dalam arti seluas-luasnya. Bersamaan dengan duduknya wakil utama NU (Gus Dur) di kursi lokomotif nasional ini, ia juga sekaligus membawa gerbong-gerbong panjang berisi pemain-pemain baru Abad 21 yang sesuai dengan tuntutan roh zaman ini, yang secara sederhana saya sebut berwatak sipil. Meskipun kabinet Gus Dur kata orang dapat diibaratkan seperti pelangi, tetapi bagi saya terlihat sebuah irisan (common characteristics) yang sangat jelas yaitu warna budaya Abad 21 yang saya sebut tadi. Yang berbeda cuma kompartemen-kompartemennya, namun nilai-nilainya terlihat sama. Oleh karena itu saya cenderung optimistik akan kemenangan dari the spirit of new millenium ini.

Di ujung lain, kita juga sedang melihat pudarnya peranan TNI sebagai sumber rekrutmen utama kepemimpinan nasional bersama Golkar lama dan birokrasi lama serta semua kompartemen-kompartemen pendamping mereka.
Menarik sekali membandingkan NU dan TNI sebagai wakil dua roh zaman yang sedang mengalami pergeseran peranan sebagai buah pergeseran paradigma yang saya sebut tadi. Dalam teori paradigma dikatakan bahwa setiap kali terjadi pergantian paradigma maka semua pemain kembali ke titik nol. Dan inilah yang dialami oleh TNI, kembali ke titik nol. Secara spesifik, semua keunggulan masa lampaunya menjadi tidak relevan dan tidak berharga dalam paradigma baru. Misalnya dalam bidang kepemimpinan, semua bekal kepemimpinan TNI dalam tata pembinaan SDM mereka di masa lampau kini dianggap tidak (begitu) bermanfaat, khususnya dalam bidang sosial politik. Itu sebabnya kita melihat bahwa TNI kini sangat gamang dalam tata permainan baru, di samping karena takanan-tekanan legalpolitik bagi penyelesaian "dosa-dosa" mereka di masa lampau.

Tetapi Gus Dur sebagai salah satu eksponen paradigma baru dalam kompartemen NU kemudian berhasil tampil sebagai pemimpin simbolik bagi roh zaman keindonesiaan baru dalam tatanan global Abad 21. Qua manajemen, perbandingan TNI dan NU adalah bagaikan langit dan bumi, tetapi kedudukan manajemen memang sekunder terhadap paradigma. Artinya paradigmalah yang utama, manajemen akan menyusul. Jadi jika kita ingin mengalami perbaikan signifikan, maka sesungguhnya kita harus mengubah paradigma sedangkan perbaikan manajerial umumnya menghasilkan perubahan infinitesimal seperti dijanjikan manajemen Jepang misalnya.
Analog dengan pergeseran paradigma dalam bidang sains, Einstein pernah berkata, "Masalah-masalah baru tidak mungkin kita selesaikan dengan menggunakan paradigma lama yang melahirkan masalah-masalah itu." Jadi dalam pandangan ini, TNI sebagai simbol paradigma lama bukan cuma part of the problem, tetapi source of the problem. Dalam pengertian ini maka konflik/krisis vertikal dan horizontal dewasa ini harus kita pahami sebagai mani-festasi dari proses tabrakan dua paradigma besar abad 20 versus abad 21.

Paradigma Abad 20, meminjam Fritjoff Capra, dapat disederhanakan dengan empat karakter berikut ini: Pertama, keinginan untuk mengekploitasi apa saja untuk memenuhi kebutuhan manusia yang ternyata tidak ada batasnya (dicirikan oleh agresivitas, kompetisi, ekspansi, aneksasi, penguasaan, penaklukan dan pengendalian). Kedua, sistem patriarkhal yang mensubordinasikan perempuan dan kaum minoritas (dicirikan oleh chauvinisme laki-laki, penyeragaman, metoda kekerasan dalam penyelesaian masalah, militerisme, premanisme, imperialisme dan fasisme). Ketiga, berkuasanya sistem nilai inderawi (dicirikan oleh pemujaan terhadap uang, harta, materi, dan hedonisme. Keempat, model berpikir rasional-mekanistik warisan Descartes dan Newton yang menjadi basis perkembangan masyarakat industri dan teknologi (dicirikan oleh industrialisasi, mekanisasi, urbanisasi, serta pemujaan berlebihan pada sains dan teknologi).

Paradigma Abad 20 ini telah merasuki secara mendalam semua tatanan ideo-politikal, sosio-kultural, bisnis-ekonomikal, tekno-industrial, serta bio-ekologikal kita. Dominasi nilai-nilai dari paradigma lama ini sedemikian kuat sehingga tidak seimbang terhadap kekuatan yang memelihara kelestarian dan kesehatan Bumi, kekayaan hidup dalam potensi keperempuanan dan kemajemukan, keindahan perasaan yang diperoleh dari sistem nilai batiniah yang idealistik, dan keutuhan perspektif dari model berpikir mistis-intuitif.

Ketidakseimbangan inilah yang melahirkan berbagai krisis multidimensional di negeri kita, dan secara khusus di pihak lain, karena kita tidak siap berubah (metamorfosis) secara dinamis. Kita pun menjadi korban dari kebekuan paradigma kita.

Untuk menjadi pemain di Abad 21, jelas bahwa kita harus pertama-tama memahami paradigma Abad 21 itu sendiri. Dan dari sudut proses, transisi menuju Abad 21 tersebut, setidaknya akan melibatkan pergeseran-pergeseran berikut ini: (1) dari keinginan pemuasan diri ke arah pengendalian diri; (2) dari modus eksploitasi ke arah modus konservasi; (3) dari semangat kompetisi ke arah semangat kerja-sama; (4) dari semangat ekspansi dan aneksasi ke arah semangat konsolidasi dan integrasi; (5) dari keinginan mengontrol dan mendominasi ke arah pemberdayaan dan desentralisasi; (6) dari modus koersi dan intimidasi ke modus persuasi dan negosiasi; (7) dari dominasi budaya dan gaya militer ke arah penguatan masyarakat sipil; (8) dari pemujaan harta dan materi ke arah pen-dalaman humaniora dan spiritualitas; (9) dari filsafat pragmatisme ke arah filsafat idealisme; (10) dari gaya hidup hedonistik ke arah gaya hidup bersahaja.

Bagaimana menata ulang (reinventing) organisasi kita agar fit untuk abad 21 merupakan pertanyaan terbesar yang harus dijawab oleh mereka yang duduk di kursi-kursi kepemimpinan pada semua eselon.
Maka malam pergantian abad sekaligus pergantian milenium beberapa hari lagi, menurut saya tidak layak kita jadikan pesta sebelum kita melampaui moment of truth dengan menjawab pertanyaan di atas. Semoga Tuhan Segala Milenium menerangi hati dan pikiran kita dalam saat-saat mendebarkan ini.

No comments: